Showing posts with label cerita anak. Show all posts
Showing posts with label cerita anak. Show all posts

The Muslim, Misteri Manusia Cahaya

 


Makhluk tersebut terus mendekat, mendekat dan mendekat. Seperti seekor predator yang menginginkan mangsanya. “Tolong” teriak mereka bersamaan. Aisyah dan Rasti gemetaran dan saling memegang tangan satu sama lain. “Ya Allah tolong kami!” teriak Aisyah. Tiba-tiba sebuah cahaya putih-kuning melesat dengan cepat dari belakang makhluk tersebut dan akhirnya menabrak makhluk tersebut hingga jatuh. Karena cahaya tersebut sangat terang Aisyah dan Rasti menutup mata mereka dengan tangan mereka. Dan ketika mereka membuka mata…

2 bulan yang lalu.. Universitas TKS.
“Aduh… Pusing kepalaku” Kata Rio kesal sambil memegang kepalanya. “Kenapa?” Tanya Agus. “Gara-gara pak kumis itu! Matematikanya, Aduh!! Susah banget!” Jawab Mio sambil menggenggam tangannya dengan kuat dan memukulkannya ke meja Kantin. (pause dulu ya.. Ini Rio. Orangnya baik, pintar, mudah bergaul juga jago olahraga terutama bulutangkis. Hanya saja dia ini mudah kesal terutama pada setiap hal yang tidak disukainya. Oke! Play lagi…). “kamu ini! Meja gak salah malah di pukul! Lebih susah lagi pelajaran aku, Bahasa Inggris! Dengan pak Inggris itu..” Jawab Agus sambil memutar bola matanya. (Pause lagi ya… nah yang satu ini namanya Agus! Badannya besar juga tinggi menunjukkan bahwa dirinya adalah seorang atlet, dia Baik juga pintar hanya saja dia sedikit ceroboh. It’s time to play again…).
“Karena Mata pelajaran kuliah sudah habis mampir dulu yuk kerumah!”. Ajak Rio. Agus menerima ajakan Rio dan segera pergi.

Di perjalanan….
“Kawan-kawan tunggu!!” Panggil Hasan sambil berteriak. (Pause sekali lagi! Hasan, orangnya ini baik, pintar badannya tinggi dan sedikit besar. Akan tetapi walaupun berbekal tubuh yang seperti itu, dia sama sekali tidak pernah menunjukkan kekuatannya pada siapapun. Play….). “Hasan ayo!”. Panggil Agus. Di perjalanan, “Grraahhmm!!”. Suara teriakan menyeramkan memekakkan telinga tersebut mengejutkan kawanan 3 serangkai tersebut. “eh.. Suara apa itu?”. Tanya Agus terkejut. “periksa aja yuk!” sambung Rio mengajak. “Hasan, kamu ikut tidak?”. Tanya Rio. “hah.. Iya deh jawab Hasan sedikit ragu. Setelah diperiksa.. Alangkah terkejutnya mereka melihat seorang laki-laki seperti seorang preman diikat kedua tangannya di akar pohon beringin sehingga tubuhnya membentuk huruf “Y”. “Astagfirullah! Apa yang terjadi?”. Tanya Hasan dengan jantung berdebar karena terkejut. “kamu nih nanya sama siapa? Emangnya kami tahu?”. Jawab Rio, panik. “Udah! Tolongin yuk”. Ajak Agus.

Mereka pun menolong orang yang diikat tersebut dengan memanjat. “Paman! Bangun paman!.” teriak Rio. “emangnya dia ini paman kamu Yo?” tanya Agus. “Ssst.. Diam! Orang lagi panik malah bercanda!” jawab Rio tegas. “pak! Bangun pak!” panggil Agus memotong ucapan Rio. “nah.. Sekarang emangnya dia jadi bapak kamu ya Agus!” tanya Rio membalas. Belum sempat Agus memberi jawaban Hasan berkata “Hei diam! Seperti anak kecil saja! sekarang paman ini sudah mulai bergerak”. Benar saja! Orang tersebut langsung bergerak! Dan… “Ugh… Allahu Akbar”. ucap Hasan. Ternyata paman tersebut langsung mencekik Hasan tanpa alasan yang jelas. “Astagfirullah! Apa yang paman lakukan?”. Teriak Agus tegang. Bola Mata orang tersebut langsung berubah merah dan seketika tubuhnya pun dipenuhi dengan bulu juga mulutnya yang memoncong dengan taring yang tajam seperti serigala jadi-jadian.

Kawan-kawan Hasan yang mencoba menolongnya langsung pingsan melihat wujud asli yang mereka tidak pernah melihatnya. Cengkeraman tangannya pada leher Hasan semakin kuat hingga… Allahu Akbar, Allahu Akbar… Suara Adzan telah berkumandang dan waktu Ashar telah tiba. Makhluk tersebut seketika melepas tangannya dari leher hasan dan langsung menghilang menjauh tak tahan akan suara Adzan yang baginya seperti senapan yang siap membunuhnya. “Alhamdulillah… Maha Besar Allah”. Ucap Hasan. Hasan mencoba tuk membangunkan kedua temannya tersebut dan akhirnya mengajak mereka untuk shalat Ashar berjama’ah di Masjid. Mulai dari bangun dari pingsannya sampai pulang dari Masjid kawanan 3 serangkai tersebut diam seribu bahasa.

“kamu nggak apa-apa kan? Hasan?” tanya Rio. “Tidak! Tidak apa-apa!” Jawab Hasan sambil menggelengkan kepalanya. “Dengar ya! Kita sebagai makhluk Allah yang paling sempurna tidak diperbolehkan untuk takut pada sesama makhluk Allah juga! Ingatlah kita itu harus selalu takut kepada Allah saja!”. Sambung Hasan menasihati.

Ghghdsguuhgdaaghrr… Suara yang sangat besar memekakkan telinga itu ternyata sebuah ledakan. Ledakan misterius tersebut membekaskan sebuah lubang besar di lapangan universitas. Semenjak kejadian tak mengenakan tersebut terjadilah berbagai teror yang terjadi… berhari-hari, berminggu-minggu sampai berbulan-bulan. Dan sang penyebab teror tersebut tidak lain tidak bukan makhluk jadi-jadian tersebut.

3 serangkai tadi merasa bersalah bahwa merekalah yang telah menyebabkan teror tersebut. Dan untuk menebusnya mereka akan berusaha untuk menangkap makhluk tersebut. Kebetulan saat itu mereka sedang libur. “Untuk menangkap makhluk tersebut kita memerlukan persiapan yang matang! Pertama kita harus mengetahui kapan makhluk tersebut muncul!” ungkap Agus. “Dia selalu muncul tepat pada pukul 10.10 menit dan 10 detik malam.” Jawab Rio. “karena dia muncul pada malam hari, kita memerlukan penerangan yang memadai.” “oke pertama alat penerangan!” ucap Rio sambil menulisnya di buku catatan kecilnya. “Kemudian kita butuh…”. Tak terasa waktu malam telah tiba sehabis sholat Isya mereka langsung berpencar mencari makhluk tersebut dengan peralatan yang sudah mereka persiapkan.

Di sebuah toko kecil dua gadis remaja keluar dari sana. Mereka hendak untuk pulang ke rumah. Tepat pukul 10.10 Makhluk jadi-jadian tersebut terbang ke luar dan menculik salah seorang di antara mereka, Aisyah. Temannya yang satunya, Rasti tidak tinggal diam dan langsung mengejar makhluk tersebut. Ketika sampai di sebuah lorong kecil makhluk tersebut melemparkan Aisyah kebagian sudutnya. “Aisyah! Kau tidak apa-apa?” Tanya Rasti sambil mendekati Aisyah. Makhluk tersebut turun dari atas lorong dengan membawa sebuah pisau kecil. Makhluk tersebut terus mendekat, mendekat dan mendekat. Seperti seekor predator yang menginginkan mangsanya. “Tolong” teriak mereka bersamaan. Aisyah dan Rasti gemetaran dan saling memegang tangan satu sama lain. “Ya Allah tolong kami!” teriak Aisyah. Tiba-tiba sebuah cahaya putih-kuning melesat sambil mengatakan “Hentikan!” dengan cepat dari belakang makhluk tersebut dan akhirnya menabrak makhluk tersebut hingga jatuh. Karena cahaya tersebut sangat terang Aisyah dan Rasti menutup mata mereka dengan tangan mereka. Dan ketika mereka membuka mata…

Seorang pria menggunakan helm dengan tangan yang bercahaya telah berdiri di depan mereka. Tangannya yang bercahaya tersebut sebenarnya berasal dari sarung tangan yang telah dimodifikasi menjadi sebuah senter. Makhluk tersebut langsung bangun dan mereka pun saling pukul hingga orang berhelm tersebut berhasil melumpuhkannya dan hendak memukulnya. Akan tetapi tiba-tiba makhluk tersebut menghilang dan langsung muncul ke belakang tubuh orang berhelm tersebut dan memukulnya hingga terjatuh. Gubrak!! “menjauh darinya!” teriak Aisyah sambil melemparkan batu bata ke makhluk tersebut. Pak! Pik! Puk! Lemparan batu Aisyah yang dibantu oleh Rasti melesat tepat di wajah makhluk tersebut. Dengan izin Allah batu tersebut terasa sangat dan sangat menyakitkan baginya karena setiap akan melemparkan batu, Aisyah dan Rasti membaca “Bismillahirrahmannirrahim”. Setelah cukup merasa menderita makhluk tersebut menghilang dan muncul di atas gedung. “Hahaahehee.. Mereka tidak akan bisa menangkapku!! Hahahehe..” kata makhluk tersebut, bahagia. “ehem!! Kata… Siapa coba?” ucap orang berhelm yang…. “Ba bagaimana engkau a ada di disini?” tanya makhluk tersebut heran. “Dari …tadi!!. BISMILAHIRRAHMANNIRRAHIM”. Kata orang berhelm tersebut sambil memukul makhluk tersebut dengan keras. Saking kerasnya makhluk tersebut terpelanting jatuh ke lapangan bola yang di sana sudah menunggu… “kkaau llagggi?”. Tanya makhluk tersebut bertambah gugup. “Take This! BISMILAHIRRAHMANNIRRAHIM”. Teriak orang berhelm sambil memukul makhluk tersebut sehingga dia terpelanting kembali ke lorong kecil tadi.

“sebaiknya kalian cepat pulang!” perintah orang berhelm yang ada di lorong kecil tersebut. Kedegubrak!! Ternyata makhluk tersebut sudah kembali ke lorong dalam keadaan… Menyedihkan.. Sungguh menyedihkan… “Pergi!”. Teriak orang berhelm. Aisyah dan Rasti pun langsung pergi. “Sudah cukup! Waktunya engkau untuk bertaubat!”. ucap orang berhelm terebut sambil menunjuk makhluk tersebut. “ghhuaarhhh!! Tolong!” ternyata di dalam makhluk tersebut terdapat manusia di dalamnya. Manusia yang digantung di pohon beringin. “BISMILLAHIRRAHMANNIRRAHIM! Ayo! Ke..lu..ar..kan!!”. Teriak Orang berhelm sambil memegang bahu makhluk tersebut dan menariknya. Dan akhirnya manusia tersebut ke luar dari tubuhnya yang menyebabkan makhluk tersebut menjadi kalang-kabut.

“Aaaaahhh” teriak makhluk tersebut sambil memegang kepalanya. Tiba-tiba lorong tersebut menjadi gelap dan… “Astaghfirullah Apa yang terjadi?” pikir orang berhelm. “Tidakkah engkau mengingatnya? Ini adalah… Hati gelapmu!!.” Jawab makhluk tersebut. “Ingat! Ingat semuanya! Semua dosa kejahatan dan kesalahan yang telah engkau perbuat!!.” Sambung makhluk tersebut. Hal tersebut membuat orang berhelm tersebut menjadi tidak karuan hingga akhirnya dia duduk dengan menegakkan pahanya dan membentangkan kaki bagian bawahnya sehingga tubuhnya membentuk huruf L.. “Kesalahan? Dosa? Semuanya? Hal tersebut… Heh.. Kau salah! Allah telah memngampuni hal tersebut dan sebagai kenangan hal tersebut merupakan pelajaran bagiku untuk tidak mengulanginya di masa yang akan datang!” teriak Hasan. Hal tersebut membuat ilusi kegelapan yang dibuat oleh makhluk tersebut langsung hancur berkeping-keping. “duniaku hancur?! Aaarhh!” teriak makhluk tersebut. “Sekarang waktumu untuk bertaubat! ucapkan!” ucap Orang berhelm sambil kembali menunjukkan telunjuknya. Makhluk itu pun bertaubat dengan khusuk (kelihatannya). Setelah makhluk tersebut bertaubat orang berhelm langsung pergi meninggalkan tempat tersebut. Belum lagi 5 langkah makhluk aneh tadi berencana untuk memukulnya tetapi entah kenapa badannya menjadi sangat kaku tak bisa bergerak. Karena khawatir makhluk tersebut pun mengakui kebesaran Allah dan mengucapkan “ASYHADU ANLA ILAHA ILALLAH WA ASYHADU ANNA MUHAMMADAR RASULULLAH”. Setelah mengucapkan hal tersebut makhluk tersebut berubah menjadi cahaya dan menghilang.

“Hasan!” Panggil Rio sambil menepuk bahu orang berhelm tersebut. ‘Heii.. Keren makhluk tersebut akhirnya pergi untuk selamanya”. Sambung Agus. Sebenarnya orang berhelm yang bertarung dengan makhluk tadi ada 3 oleh sebab itu dia bisa ada di 3 tempat sekaligus. Orang berhelm tersebut beranjak pergi dari tempat itu seakan tidak terjadi apa-apa sambil berpikir “aku? Siapa aku? Apa takdirku? Segala sesuatu yang terjadi padaku merupakan sebuah pelajaran bagiku. Mungkin inilah takdirku, salah satu tujuan hidupku! Aku…. Hamba Allah, Muslim.Dan semua yang terjadi padaku adalah sebuah misteri ilahi yang tidak bisa kubayangkan dan misteri itulah… Takdirku”. “Hasan! Kamu denger nggak?”. Teriak Agus dari belakang. “ya… Kenapa manggil aku?” sahut Hasan yang muncul tiba-tiba dari belakang Rio dan Agus. Rio dan Agus terdiam seribu bahasa sambil menatap Hasan dan orang berhelm yang telah menghilang ditelan malam. Gubrak! “yah… Pingsan lagi!”. Ucap Hasan bingung.

FABEL: PERSAHABATAN BURUNG PIPIT DAN BURUNG RAJAWALI

 


 Suatu hari, Rajawali dan Pipit hinggap bersama di sebuah batu besar.

"Selamat pagi, Rajawali," sapa Pipit ramah.
Rajawali melirik sedikit pada Pipit. Lalu dengan kepala yang terangkat tinggi ia menjawab, "Selamat pagi juga."
"Semoga hari ini semua pekerjaan berjalan lancar." kata Pipit.
"Memang sudah seharusnya begitu," kata Rajawali dengan angkuh. "Aku ingatkan! Kami adalah raja di antara semua burung.

Karena itu, lain kali, sebelum kami bicara, kau jangan menyapa kami dulu!"
"Tapi kita kan satu keluarga?" Pipit memandangi Rajawali dengan heran.
Rajawali menatap Pipit dengan kesal."Kata siapa kita satu keluarga?" bentaknya, meremehkan Pipit.
Dengan tenang Pipit berkata,"Aku ingatkan aku juga bia terbang tinggi seperti kamu. Bahkan aku bisa melakukan hal yang tidak bisa kau lakukan, seperti bernyanyi. Aku bisa menghibur mahkluk lain di bumi."
Perkataan Pipit membuat Rajawali marah. "Berani-beraninya kau membandingkan dirimu dengan aku, mahkluk kecil! Apa kau tidak lihat? Ukuran tubuhmu hanya sebesar batang kakiku! Begitu kuinjak elayang nyawamu!"
Pipit tidak berkata apa-apa. Dengan tenang ia terbang ke atas punggung Rajawali dan hinggap di sana. Kemudian ia mulai mematuk-matuki bulu Rajawali. Betapa kesalnya Rajawali. Ia segera terbang ke angkasa. Dengan berbagai macam gerakan, ia berusaha menjatuhkan Pipit dari punggungnya. Namun tidak berhasil. Pipit melekat di tubuhnya seperti dilem. Rajawali terpaksa hinggap kembali di batu besar tadi. Namun Pipit tetap tidak mau turun.
Pada saat itu lewatlah Kura-kura. Ia tertawa terbahak-bahak melihat pemandangan itu.
"Apa yang kau tertawakan hai mahkuk yang lamban?" bentak Rajawali pada Kura-kura.
Sambil masih tertawa ia berkata,"Sepertinya, kau telah menjadi kuda tunggangan bagi Pipit! Hahaha......."
"Ini adalah urusanku dengan saudaraku. Jangan campuri urusan keluarga kami. Pergi sana! Uruslah urusanmu sendiri!" bentak Rajawali dengan marah. Karena malu ditertawakan, ia terpaksa berkata begitu.
Setelah itu Rajawali terbang tinggi lagi, dengan Pipit masih ada di punggungnya.

DARI HUJAN KEPADA NONA MATAHARI

 


Kepada Nona Kecil penghangat pagi,

Barangkali Nona membaca ini dengan perasaan kesal setengah mati, sepenuh hati. Saya ingin Nona mengetahui bahwa dengan kesungguhan yang sama, saya memohon padamu untuk memaafkan saya. Saya baik-baik saja, Nona, percayalah saya cukup kuat untuk menjadi laki-laki baik. Setidaknya saya akan berusaha untuk tetap baik-baik saja. Yakinlah. Nona tidak perlu mengkhawatirkan tentang apapun. Pada akhirnya, semua tetap akan menjadi baik. Tapi bukankah tidak ada salah satu dari kita yang pernah memulai apapun hingga cerita tentang kita perlu memiliki akhir?

Benarkah kabar-kabar tentang saya ditabur angin hingga membentang demikian padang? Mungkin pengasinganku tidak cukup jauh. Hingga masih ada mata-mata yang membicarakanku, masih mampu mulut-mulut itu mengamatiku. Besok saya akan berangkat ke bulan, bersembunyi pada sisinya yang paling gelap, hingga tidak ada lagi cahaya, tidak pula udara. Dengan begitu tidak akan ada lagi yang bisa menyiarkan berita apapun tentang laki-laki yang mengasingkan diri dari matahari. Nona kecil, kumohon mengertilah. Kamu terlalu menggemaskan untuk menghakimi apapun, biar telinga sekalipun. Tidak ada dosa yang membutuhkan hukuman pancung, Nona. Biarlah cuping-cuping itu bahagia, agar saya masih bisa mengingat satu tempat di mana kamu mengaitkan anak-anak rambutmu ketika malu-malu. Nona cantik sekali saat itu. Sungguh.

Bunga lili itu masih kamu simpan rupanya. Terima kasih sudah mengenangnya, Nona. Kamu masih ingat penghuni satu-satunya Taman Eden kecil saya? Bunga-bunga lili sewarna putih susu. Tentu saja semestinya kamu ingat, saya sendiri yang meminta bantuanmu menanamnya bersama-sama dulu. Aku tidak ingat pernah sejatuh cinta itu pada bunga, Nona, tidak hingga kamu mengatakan padaku arti sebuah lili putih. Kembang-kembang yang seperti tembang doa ibumu ketika kamu menangis kencang melihat cahaya pertama kali, gadis putih suci yang baik hati. Ibumu tentu sangat mencintai bunga lili. Tapi di hariku yang paling jatuh aku melihat kebun itu begitu janggal, bunga yang Nona simpan itu tumbuh dan tinggal. Lili kuning yang saya yakin bukan kamu, kebohongan palsu yang datang dengan begitu riang. Saya tidak berbohong ketika berkata semestinya kamu membenciku, Nona. Begitu pula ketika saya mengatakan kamu tidak mencintai saya. Memberikanmu bunga lili kuning itu sama saja menuduhmu penipu yang penuh kepalsuan, sebuah alasan bukan? Dan seketika kamu melingkarkan janji itu pada jari manismu, maka saat itu saya telah membuat kontrak seumur hidup bersama patah hati.

Nona Kecil,

Saya percaya masing-masing hati punya cerita hujannya sendiri-sendiri. Milikku adalah kamu yang bermain-main hujan bersama payung berwarna kuning menyala. Payung itu cukup lapang untuk meneduhkan kita berdua, tapi kamu memilih untuk memutar-mutarnya dan melompat-lompat seperti kelinci. Hari itu saya mempercayai sesuatu, payung hanya satu dari ribuan ciptaan yang mampu meneduhkan dan jahe bukan satu-satunya hal yang sanggup menghangatkan. Sejak itu saya memanggilmu matahari, ciptaan Tuhan yang menari-nari bersama hujan untuk mengundang pelangi. Barangkali benar bahwa kita tidak pernah diijinkan untuk terlampau mencintai, atau Tuhan akan menunjukkan satu alasan yang membuat masing-masing kita saling membenci. Begitu juga cerita saya dengan hujan. Saya tahu hujan adalah satu-satunya alasan yang membuatmu rela tertahan, sebab saya saja barangkali tidak akan mampu menahanmu. Tapi hari itu hujan, dan dia bahkan saya rasa tidak mencoba menahanmu untuk mengangguk kepada laki-laki yang kamu bilang begitu mencintamu itu. Atau barangkali Nona ingin membelanya? Bahwa hujan sudah cukup berusaha?

Nona Kecil yang masih kupanggil matahari,

Saya mohon berhentilah meminta pada Tuhan untuk menghentikan waktu. Seperti pada riwayat Selene yang dewi bulan dan seorang gembala itu, permintaan semacam itu akan membawa kedukaan yang begitu panjang. Percayalah bahwa cinta diperjuangkan sebab keberadaan ketidakabadian hingga maut akan tetap niscaya. Mengertilah, hidup tidak pernah diciptakan sebercanda itu.

TEKS FIKSI: PENSIL KEBAHAGIAAN

 

Pada suatu hari, hiduplah seorang anak bernama Sanafika Dirsya. Bersekolah di SDSN Ceria dan duduk di kelas 5. Ia dikenal sebagai pemalas dan sering mendapat nilai jelek baik tugas maupun latihan. Tapi, Sanaf tetaplah Sanaf, tak ingin berubah menjadi lebih baik.

Di rumah, Sanaf menatap tajam kertas ulangan yang dipegangnya. “Haruskah nilai jelek yang tertera di kertas ini? Menyebalkan!” kesal Sanaf dan meremas kertas itu lalu membuangnya dengan asal. “Sanaf, kamu kenapa?” tiba-tiba mama sudah ada di dekatnya. “Aku gak apa-apa!” bohong Sanaf. “Kalau baik-baik saja, mengapa kamu meremas dan membuang kertas ini?” tanya mama sambil memegang remasan kertas yang dibuang Sanaf. Sanaf terkejut karena mama memegang kertas ulangannya. “Maaf ma, aku akan membuangnya!” ujar Sanaf dan ingin meraih kertas tersebut dari mama namun beliau menghindar lalu melihat isi kertas.

“Oh, ini nilai ulanganmu!” seru mama sambil menggelengkan kepala. Sanaf menundukkan kepala. Ia merasa bersalah. “Kenapa kamu membuangnya?”, “Aku gak mau mama marah!” tegas Sanaf. Mama mengangguk lalu memberikan sebuah pensil untuk Sanaf. “Ini pensil kebahagiaan. Dulu, mama pakai ini dan nilai selama bersekolah bagus. Tapi, mama harus belajar agar pensil ini mau membantu mama. Kalau mama gak belajar, pensil ini tidak mau membantu sama sekali. Sekarang pensil ini untukmu!” Sanaf heran menatap pensil itu dan bertanya-tanya apakah itu pensil ajaib atau hanya rencana mama agar Sanaf lebih giat belajar. “Mama gak bohong, terimalah!” akhirnya Sanaf menerimanya setelah mendengar pernyataan mama.

Sejak saat itu, Sanaf belajar bersama pensil itu untuk membuktikan apakah pensil itu ajaib. Dugaannya benar, selama mengikuti pelajaran, nilai Sanaf meningkat dan semakin memuaskan. Ia mendapat nilai bagus bahkan pernah tertinggi di kelas. Suatu hari, seseorang mendatangi Sanaf dan bertanya mengenai dirinya yang semakin hari mendapat nilai bagus. “Zimal, aku belajar dengan giat, bukan karena suatu hal apapun!” bohong Sanaf. “Aku gak percaya dan.. apa karena pensil itu kamu menjadi pintar?” Zimal, teman sekelas Sanaf mulai mecurigainya. Sanaf yang tenang menghadapi Zimal tiba-tiba tegang. “Serahkan pensil itu!” pinta Zimal sambil merebut pensil pemberian mama Sanaf. “Gak, ini milikku. Berani sekali kau merebutnya!” terjadilah perebutan pensil antara Sanaf melawan Zimal membuat teman kelas sekitarnya melihat ke arah dua rival tersebut. “Cukup. Aku akan membuktikan bahwa pensil ini ajaib. Kamu selalu memakai pensil ini dan tak pernah mendapat nilai jelek sejak memakai pensil ini. Lihat saja, kamu akan mendapat nilai jelek kembali setelah pensil ini ada di tanganku!” Zimal pergi meninggalkan tatapan liciknya. “Zimal!” Sanaf berteriak dan bersedih sepanjang pelajaran di sekolah.

Bel pulang berbunyi, Sanaf mempercepat langkahnya menuju rumah. Ia langsung memberitahu mama bahwa pensil kebahagiaannya diambil oleh Zimal, teman kelasnya. Mendengar itu, mama tersenyum membuat Sanaf heran. “Mengapa harus bergantung pada pensil itu? Tanpa pensil tersebut, kamu bisa dapat nilai bagus!” ucap mama. “Bagaimana caranya?” , “Kamu harus belajar dengan giat. Berubahlah menjadi lebih baik. Kalau kamu berubah menjadi lebih baik, maka masa depanmu juga akan baik!” jawab mama. Sanaf terdiam mendengar jawaban mama.

“Jadi, itu hanya pensil biasa? Keraguanku selama ini benar. Aku akan berusaha menjadi lebih baik. Aku gak butuh barang apapun untuk menjadi hebat karena hebat itu berasal dari diri sendiri. Maaf kalau Sanaf selama ini malas. Terimakasih mama!” Sanaf memeluk mama tercinta disambut mama yang memeluk dengan erat. Batinnya berkata,”Anakku berubah!”.

Hari ke hari, Sanaf semakin giat belajar menggapai mimpinya. Ia tidak dikenal pemalas, namun dikenal murid terpintar di kelas. “Sanaf, kau..”, tiba-tiba Zimal menghampiri Sanaf. Sanaf hanya menaikkan sebelah alisnya. “Kau.. mengapa bisa? Mengapa nilaimu meningkat tanpa pensil di tangan ini? Aku yang mencoba pensil ini bahkan tak mendapat hasil apapun. Apakah kamu mempunyai kekuatan ajaib? Apa kau curang? Atau..”, “Cukup. Jangan menuduhku seperti itu!” Sanaf mengambil pensil di tangan Zimal lalu membuangnya ke tempat sampah. “Kamu gak harus tergantung dengan pensil itu. Itu hanya pensil biasa!” mendengar itu, Zimal terkejut. “Pensil itu pemberian mamaku. Beliau berbohong bahwa pensil itu ajaib yang akan membantu mendapatkan nilai bagus baik tugas maupun latihan asalkan harus belajar yang giat. Jika tidak, pensil itu tak akan membantu. Tapi semua itu hanya kebohongan. Mama ingin agar aku belajar giat dengan cara seperti itu!” Sanaf menjelaskan tentang pensil tersebut pada Zimal. Suasana menjadi hening.

“Mengapa kita mudah percaya dengan hal seperti itu? Semua orang pasti tahu bahwa untuk meraih sukses harus berdoa dan berusaha. Bukan mempercayai barang seperti itu. Maafkan aku Sanaf, karena pensil tersebut, kita bagaikan musuh!” Zimal mengambil kesimpulan lalu meminta maaf pada Sanaf. “Aku juga minta maaf!” akhirnya, mereka saling bermaafan. Dalam hati Sanaf, ia bersyukur karena ia tidak menjadi pemalas karena mama dan sebuah pensil.


FABEL: SIAPA PALING HEBAT AYAM, GAJAH, HARIMAU DAN TIKUS?

 

Dalam sebuah kapal ada 4 ekor hewan yang menemani seorang nahkoda. Hewan itu ialah ayam, gajah, harimau dan tikus. Suatu hari keempat hewan itu berkumpul dan menceritakan kehebatan masing-masing.
Kata Ayam : "Aku selalu memberi telur kepada nahkoda kita. Berkat aku, dia dapat makan enak dan bergizi."
Gajahpun tak mau kalah "Aku kuat, aku selalu membantu nahkoda kita untuk mengangkat barang-barang berat."
Harimau menimbrung "Kalau aku terkenal sakti dan selalu dapat memenangkan setiap pertempuran, aku selalu melindungi nahkoda kita dari serangan bajak laut dan orang-orang jahat".
Hanya tikus yang terdiam. Ketiga hewan lainnya memandang dia katanya : "Tikus apa fungsimu di sini, hanya engkau yang tak mempunyai fungsi di sini.hahahaha". Mereka mengejek tikus itu.
Suatu hari kapal itu terantuk pada tonjolan karang dan bocor. Keempat hewan itu dan nahkodanya panik. Mereka tidak tahu apa yang akan mereka lakukan karena lokasi kebocoran berada di tempat tersembunyi sehingga tidk bisa ditemukan. Tikus berpikir sejenak kemudian berkata : "Teman-teman mungkin inilah saatnya aku dapat berguna bagi kalian." Lalu tikus itu mulai bergerak. Dengan tubuh mungil dan lonjong itu dia begitu mudah masuk ke sela-sela kayu untuk menemukan sumber kebocoran itu. Akhirnya kapal itu dapat diselamatkan.
Nahkoda itu berkata : "Untung ada kamu tikus, kalau tidak kita bisa celaka". Ketiga temannya pun tertunduk malu karena mereka telah mengejek tikus itu.
Demikianlah TUHAN memberikan kepada kita semua talenta masing masing. Tidak ada orang bodoh yang ada hanya orang yang tidak sadar akan bakat yang diberikan TUHAN kepada kita. Janganlah mengejek dan saling merendahkan tetapi hendaklah saling melengkapi untuk hidup yang lebih baik.

 

DONGENG LUCU & DRAMATIS: KUCING DAN TIKUS YANG SALING MEMBANTU

 

Anak-anak... pernahkah kalian melihat kucing dan tikus berteman? Hmm... Aneh ya? Tapi dengarkan cerita ini dulu!

Di sebuah gudang tua—tempat penuh tumpukan karung dan bau keju—hiduplah dua makhluk kecil: Miu si kucing yang suka tidur siang, dan Tiko si tikus yang suka nyemil keju diam-diam. Biasanya, kucing ngejar tikus. Tapi Miu dan Tiko? Mereka malah main petak umpet tiap sore!

Suatu pagi... "Meoooong! Tolonggg!" suara Miu terdengar panik. Rupanya, dia terjebak di dalam kotak jebakan!

Tiko mendekat pelan-pelan... "Miu? Kamu kenapa?"

"Aku... aku cuma mau ambil makanan manusia. Eh, malah kejebak!"

Tiko, walau kecil, punya gigi yang tajam! Krak... krak... Dia menggigit tali jebakan. Dan... klik! Miu BEBAS!

Hari berganti. Kini giliran Tiko dalam bahaya. Seekor ular panjang dan licin masuk gudang! "Ssssttt... tikus kecil, aku lapar..."

BRAK! Miu meloncat seperti ninja! Dengan cakar dan suara garangnya, "MIAAAAW!!!" ia mengusir ular itu pergi!

Tiko pun selamat.

Dan mereka pun berpelukan... Eh, maksudnya, pelukan versi kucing dan tikus, ya: saling kedip dan makan keju bersama.

Pesan cerita ini? Bahkan musuh alami bisa jadi sahabat, asal saling menolong dan percaya!

CERITA ANAK FABEL KUCING DAN TIKUS YANG SALING MEMBANTU

 

Di sebuah desa yang damai, hiduplah seekor kucing bernama Miu dan tikus kecil bernama Tiko. Mereka tinggal di gudang yang sama, namun tidak seperti kucing dan tikus pada umumnya, Miu dan Tiko bersahabat.

Suatu hari, Miu terjebak di dalam kotak perangkap yang dipasang oleh pemilik gudang. Ia mengeong keras meminta pertolongan. Tiko yang mendengar suara sahabatnya segera datang. Dengan gigi kecilnya, Tiko menggerogoti tali pengikat kotak hingga Miu bisa keluar.

"Terima kasih, Tiko. Kau telah menyelamatkanku," kata Miu dengan haru.

Beberapa minggu kemudian, giliran Tiko yang dalam bahaya. Seekor ular masuk ke gudang dan hendak memangsa Tiko. Melihat itu, Miu melompat dengan cepat dan mengusir ular itu dengan cakarnya yang tajam.

Tiko pun selamat. Sejak saat itu, persahabatan mereka semakin erat. Mereka menyadari bahwa perbedaan bukanlah penghalang untuk saling membantu.

Pesan moral dari cerita kucing dan tikus ini adalah: Persahabatan sejati tumbuh dari saling tolong-menolong, meski berasal dari dunia yang berbeda.

NOVEL "PEWARISAN TERAKHIR": Masa Depan yang Baru Dimulai CHAPTER 10)

 

Hari itu, matahari terbenam dengan indah, menciptakan semburat warna oranye yang menyelimuti seluruh Ciputat. Warung Pak Darto, yang selama ini menjadi saksi bisu perjalanan hidup Reyhan, kini terasa berbeda. Semua yang sebelumnya tampak seperti ujian—seperti cobaan berat yang harus dihadapi—sekarang berubah menjadi kenangan manis yang membentuk dirinya.

Reyhan melangkah keluar dari warung kecil itu, matanya memandang jauh ke depan. Langkahnya mantap, tanpa keraguan. Ia tahu, dunia menantinya di luar sana, dan kali ini, ia siap untuk menghadapinya tanpa ada yang menahan.

Pak Darto, atau lebih tepatnya Armand Prasetya, berdiri di pintu warung, mengamati anaknya yang kini terlihat berbeda. Tidak ada lagi keraguan dalam diri Reyhan. Tidak ada lagi kecemasan tentang apakah ia melakukan keputusan yang benar. Reyhan telah memilih jalan yang sulit, namun itu adalah jalan yang benar menurutnya.

“Kamu sudah siap?” tanya Armand dengan suara berat.

Reyhan menatapnya dengan senyum lebar. “Ya, Pak. Saya siap.”

Armand mengangguk, matanya berbinar. “Aku bangga padamu, Rey. Lebih dari apa pun, kamu telah memilih jalanmu sendiri. Itu sudah lebih dari cukup.”

Reyhan menarik napas panjang. “Mungkin saya bukan anak yang sempurna. Saya tahu saya nggak selalu menjadi yang terbaik untuk Papa. Tapi saya janji... saya akan berusaha untuk jadi lebih baik.”

Armand melangkah mendekat dan meletakkan tangan di bahu Reyhan. “Kamu sudah lebih dari cukup, Rey. Kalau kamu memilih untuk hidup dengan integritas, keberanian, dan kerja keras—itu sudah lebih dari cukup untukku. Tidak ada warisan harta yang lebih berharga daripada itu.”

Reyhan menatap wajah ayahnya. Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia merasa benar-benar terhubung dengan sosok ini. Sosok yang selama ini ia anggap sebagai seseorang yang jauh, penuh rahasia, dan bahkan terkadang menakutkan. Namun kini, ia menyadari bahwa ayahnya hanyalah seorang manusia yang ingin melihat anaknya berdiri dengan kaki sendiri.

“Apa sekarang semuanya selesai, Pak?” tanya Reyhan, suara penuh tanya.

“Tidak, Rey,” jawab Armand dengan senyuman. “Ini baru awal. Masa depanmu masih panjang. Banyak hal yang akan datang, banyak tantangan, dan banyak pilihan. Tapi ingat, apapun yang terjadi, kamu sudah memulai dengan langkah yang tepat.”

Reyhan mengangguk, kemudian berpaling untuk terakhir kali ke warung itu. Tempat yang selama ini menjadi saksi perubahannya. Tempat yang mengajarinya banyak hal tentang hidup, tentang nilai-nilai yang lebih penting daripada uang.

Di luar sana, dunia menunggu. Mungkin itu tidak akan mudah, tapi Reyhan tahu satu hal—ia sudah menemukan tujuan hidup yang sejati. Bukan lagi tentang menjadi pewaris kekayaan keluarga. Tapi tentang menjadi dirinya sendiri.

Dengan langkah mantap, Reyhan melangkah pergi, menuju masa depan yang baru. Tak ada lagi bayang-bayang masa lalu yang mengikutinya. Ia tidak lagi merasa takut akan kegagalan, karena ia sudah belajar dari setiap langkah yang ia ambil.

Armand memandang anaknya dengan bangga, lalu menatap langit yang kini semakin gelap. Suasana hati Armand begitu tenang, penuh kedamaian. Ia tahu, meskipun ia tidak lagi bisa mengatur langkah Reyhan, ia telah memberikan sesuatu yang jauh lebih berharga: kebebasan untuk memilih dan membangun hidupnya sendiri.

Dan dengan itu, perjalanan panjang mereka sebagai ayah dan anak telah sampai pada titik ini—titik di mana mereka akhirnya memahami arti sejati dari keluarga dan warisan.

Akhir

NOVEL "PEWARISAN TERAKHIR": Warisan Sebenarnya (CHAPTER 9)

 


Pagi itu, warung Pak Darto terasa lebih sepi dari biasanya. Reyhan duduk di kursi kayu yang biasa ia gunakan untuk menunggu pelanggan, masih memegang surat wasiat yang kini terasa lebih berat daripada sebelumnya. Setiap kata dalam surat itu kini terasa seperti ujian yang lebih besar, bukan hanya untuk dirinya, tapi untuk seluruh hidupnya.

Armand, yang selama ini menyamar sebagai Pak Darto, duduk di depannya dengan wajah yang tenang. Tidak ada lagi topeng atau kedok. Di hadapan Reyhan, sekarang hanya ada seorang ayah yang sangat ingin anaknya melihat dunia dengan cara yang berbeda. Cara yang lebih bijaksana, penuh perjuangan, dan penuh harga diri.

Reyhan menghembuskan napas panjang. “Jadi... selama ini Papa menguji saya? Membiarkan saya hidup dengan cara yang berbeda?”

Armand mengangguk. “Iya. Bukan hanya kamu yang diuji, Rey. Aku juga. Mungkin ini cara kita belajar untuk benar-benar mengenal satu sama lain.”

“Apa maksudnya? Apakah semua ini... hanya untuk tahu apakah saya bisa berdirisendiri?” Reyhan bertanya, masih merasa bingung.

“Tidak,” jawab Armand tegas. “Ini tentang membuktikan bahwa kamu bisa memilih, Reyhan. Hidup ini bukan hanya tentang memilih apa yang enak, tapi juga apa yang benar. Dan kamu sudah memilih dengan benar.”

Reyhan menggenggam surat wasiat itu erat-erat. Ada dua pilihan di dalamnya, dua jalan yang bisa diambil. Salah satunya adalah jalan yang biasa ia kenal—warisan kekayaan yang bisa membawanya kembali ke dunia yang selama ini ia tinggalkan. Namun, ada pilihan kedua yang lebih menantang: sebuah tantangan untuk membangun sesuatu dari nol, tanpa dukungan finansial dari keluarganya.

“Aku bisa memilih hidup seperti dulu, kan? Punya semuanya—rumah besar, mobil, kemewahan. Tapi itu berarti hidup dengan nama Prasetya, hidup dengan bayang-bayang ayahmu, bukan hidupku sendiri,” kata Reyhan pelan.

Armand mengangguk. “Betul. Dan apa yang kamu pilih sekarang... itu yang menentukan siapa kamu. Itu yang akan menjadi warisan sejati.”

Reyhan diam, matanya menerawang jauh. Ia tak pernah membayangkan hidupnya akan sampai di titik ini—di mana ia harus memilih antara kenyamanan dunia lama yang penuh kemewahan dan tantangan dunia baru yang tak pasti. Di satu sisi, ada rasa takut gagal yang begitu besar. Namun, di sisi lain, ada rasa kebebasan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.

“Kalau aku memilih untuk tidak menerima warisan,” Reyhan mulai, “apa yang akan terjadi dengan Papa?”

Armand tersenyum kecil. “Aku tidak akan menghalangi pilihanmu. Tetapi ingat, Reyhan... uang tidak menjamin kebahagiaan. Kadang yang lebih penting adalah rasa puas dengan usaha sendiri, dan itu yang akan memberikan kebahagiaan sejati.”

Reyhan menatap surat itu sekali lagi, merasa perasaan itu mengalir dalam dirinya. Keputusan yang ia buat tidak hanya akan mengubah hidupnya, tapi juga hubungan mereka sebagai ayah dan anak. Ia menyadari, ini bukan hanya tentang warisan harta—ini adalah tentang bagaimana ia ingin dikenang.

Akhirnya, Reyhan menaruh surat itu di meja dan berkata dengan tegas, “Saya pilih jalan yang saya buat sendiri. Bukan jalan yang sudah dibuat untuk saya.”

Armand memandang anaknya, wajahnya penuh kebanggaan. “Itulah yang aku harapkan.”

Reyhan berdiri, dan kali ini, ia tidak lagi merasa cemas. Ada sesuatu yang baru tumbuh dalam dirinya—kepercayaan diri. Keputusan itu mungkin berat, tapi ia tahu satu hal: ia tidak akan pernah lagi memilih jalan mudah. Warisan terbesar yang bisa ia terima bukanlah uang atau harta, tetapi kebebasan untuk memilih jalan hidupnya sendiri.

Dan di hari itu, Reyhan tahu, ia akhirnya siap untuk benar-benar hidup.

Lanjut ke Bab 10: Masa Depan yang Baru Dimulai

NOVEL "PEWARISAN TERAKHIR": Kebenaran di Balik Nama “Pak Darto” (CHAPTER 8)

 


Langit sore memerah, seolah ikut menjadi saksi bahwa sesuatu besar akan terjadi di warung kecil itu. Reyhan duduk termenung di bangku kayu, map berisi surat wasiat masih di tangannya. Kata-kata kurir hukum itu terngiang di kepala—bahwa warisan bukan hanya tentang angka, tapi juga tentang layak atau tidaknya seseorang menerima tanggung jawab.

Pak Darto sedang mengelap meja ketika Reyhan akhirnya bertanya, “Pak, boleh saya tanya sesuatu?”

Armand menoleh. “Apa itu?”

“Kenapa Bapak sering bilang hal-hal bijak tentang hidup... seolah Bapak pernah ada di tempat tinggi?”

Pak Darto tertawa kecil, tapi tak menjawab.

Reyhan melanjutkan, “Dulu, Papa saya sering bilang: ‘Orang yang besar bukan yang bisa beli apapun, tapi yang bisa kehilangan segalanya dan tetap berdiri.’ Kata-kata Bapak... mirip.”

Pak Darto terdiam. Tangannya berhenti bergerak. Diam itu terlalu panjang, terlalu penuh makna.

“Pak...” Reyhan menatapnya, suaranya bergetar, “Siapa Bapak sebenarnya?”

Armand menarik kursi dan duduk di depannya. Wajah lelahnya tak bisa lagi menyembunyikan apa pun. Ia membuka topinya perlahan, menyapu rambutnya ke belakang, dan menatap anaknya dengan mata yang kini tak lagi bisa bersembunyi.

“Aku ayahmu, Reyhan.”

Sunyi.

Angin sore berdesir perlahan, seolah berhenti sejenak untuk memberi ruang pada dua hati yang saling terdiam.

“Apa?” bisik Reyhan, seperti tak percaya telinganya sendiri.

“Namaku bukan Darto. Aku... Armand Prasetya.”

Reyhan berdiri mendadak, bangkunya nyaris terjatuh. “Kamu bohong!”

“Aku gak bohong. Aku menyamar, iya. Tapi bukan untuk mempermainkanmu. Aku ingin tahu siapa kamu—bukan saat kamu punya segalanya, tapi saat kamu gak punya apa-apa.”

“Maksud Papa... selama ini Papa ngelihat semua? Dari awal aku kerja di sini?”

Armand mengangguk pelan.

“Papa nyuruh orang suruh aku hidup susah, buat nguji aku?!”

“Bukan suruh kamu susah,” jawab Armand dengan tenang. “Aku cuma ambil semua yang mudah, supaya kamu tahu rasanya bangkit. Aku ingin melihat... kamu bisa berdiri, bukan hanya menggenggam warisan.”

Reyhan mundur beberapa langkah, matanya berkaca-kaca.

“Jadi... semua ini bohong? Warung ini? Nama Bapak? Semuanya setting-an?”

“Tidak semuanya. Keringatmu... usahamu... keputusanmu untuk melawan Toni... semua itu nyata, Rey.”

Reyhan duduk kembali, pelan, seperti baru saja jatuh dari langit. “Lalu... surat wasiat itu juga... setting-an?”

“Tidak. Itu nyata. Tapi surat itu hanya berlaku... kalau aku yakin kamu layak. Dan sekarang... aku mulai percaya, kamu memang pantas.”

Sunyi kembali turun, tapi kali ini bukan karena amarah. Melainkan karena keduanya sedang menata kembali puing-puing hubungan yang selama ini hanya dibangun di atas warisan—bukan pengertian.

Lanjut ke Bab 9: Warisan Sebenarnya

NOVEL "PEWARISAN TERAKHIR": Surat Wasiat yang Mengguncang (CHAPTER 7)

 

Mobil hitam itu berhenti perlahan, mengusir debu di sekitar warung kecil itu. Reyhan menatapnya dengan alis terangkat, sementara Pak Darto berdiri kaku. Ia mengenal mobil itu. Ia mengenal supir itu. Dan yang paling penting—ia tahu apa isi koper hitam yang dibawa pria berkacamata gelap itu.

“Permisi,” kata pria itu dingin, membuka kaca mata dan memandang sekeliling. “Saya mencari Reyhan Prasetya.”

Reyhan melangkah maju, kening berkerut. “Saya. Ada apa, Pak?”

Pria itu membuka koper dan mengeluarkan sebuah map cokelat, tersampul rapi dengan logo firma hukum yang sangat familiar: Lawrence & Siregar—firma hukum yang menangani semua urusan keluarga Prasetya.

“Saya ditugaskan oleh Tuan Armand Prasetya,” ucap pria itu, tak menyadari bahwa sang tuan berdiri hanya dua meter di belakangnya, menyamar sebagai Pak Darto.

Reyhan menegang. “Papa? Dia di Swiss, kan? Masih dalam perawatan...”

Pria itu mengangguk pelan. “Ya. Tapi sebelum keberangkatannya, beliau menandatangani revisi surat wasiat. Dan sesuai jadwal, saya diinstruksikan untuk menyerahkannya kepada Anda... tepat hari ini.”

Reyhan menerima map itu dengan tangan gemetar. Pak Darto, di belakangnya, menahan napas.

“Di dalamnya ada dua versi surat wasiat,” lanjut pria itu. “Satu lama, satu baru. Hanya satu yang berlaku nanti—bergantung pada penilaian kami atas perilaku Anda selama dua bulan terakhir.”

“Maksudnya?” tanya Reyhan heran.

“Surat itu adalah ujian terakhir. Bukan hanya untuk Anda... tapi untuk kami semua yang percaya, bahwa warisan sejati bukan angka di rekening. Tapi karakter.”

Pria itu menutup koper. “Maaf saya harus langsung pergi. Saya hanya kurir. Tapi saya harap Anda siap dengan segala kemungkinan.”

Ia naik kembali ke mobil, dan dalam sekejap, mobil itu melaju pergi, meninggalkan keheningan aneh di udara.

Reyhan membuka map itu perlahan. Di halaman pertama, tertulis:

Surat Wasiat Alternatif: Hanya Berlaku Jika Pewaris Dinilai Layak Berdasarkan Perilaku dan Integritas

Ia menoleh pada Pak Darto. “Pak... kenapa Papa bikin surat kayak begini? Dia pikir saya ini apa, binatang percobaan?”

Pak Darto tak langsung menjawab. Matanya hanya menatap map di tangan Reyhan, seakan itu adalah cermin dari pertaruhan hidup yang ia buat sendiri.

“Kadang, orang tua gak butuh anak yang sempurna,” ucap Pak Darto pelan. “Mereka cuma mau tahu... apa anaknya siap untuk berdiri sendiri saat dunia tak memberinyaapa-apa.”

Reyhan menggenggam map itu kuat-kuat. “Kalau ini ujian... maka saya akan lulus. Tapi bukan buat warisan. Saya lulus karena saya harus bisa jadi manusia yang utuh.”

Dan diam-diam, Pak Darto menghapus air mata kecil di sudut matanya. Anaknya sudah berubah... dan waktunya untuk membuka semua kebenaran semakin dekat.

Lanjut ke Bab 8: Kebenaran di Balik Nama “Pak Darto”

NOVEL "PEWARISAN TERAKHIR": Perlawanan Dimulai, Tanpa Nama Keluarga (CHAPTER 6)

 

Pagi itu, langit Ciputat mendung. Awan gelap menggantung di atas warung kecil yang tampak seperti biasa saja. Tapi di dalamnya, ada sebuah keputusan yang baru saja dilahirkan—diam-diam, tanpa teriakan, tapi penuh tekad.

Reyhan menggulung lengan bajunya dan menyelipkan selembar kertas ke saku belakang celana. Ia menatap cermin kecil di dapur, wajahnya keras, sorot matanya berbeda dari seminggu lalu. Ia tak lagi terlihat seperti anak orang kaya yang tersesat. Ia terlihat seperti orang yang siap memperjuangkan sesuatu... bahkan tanpa warisan sekalipun.

Toni datang tepat jam delapan pagi, seperti yang dijanjikannya. Ia duduk di bangku warung sambil menyulut rokok, memperhatikan Reyhan dari jauh dengan senyum licik.

“Jadi, lo udah pikirin, kan?” tanya Toni, sambil mengetuk-ngetuk meja.

Reyhan mengangguk. “Udah.”

“Bagus. Lo bawa duitnya?”

Reyhan duduk di depannya, lalu meletakkan selembar kertas di atas meja. “Gue gak kasih lo uang. Tapi gue kasih lo kerja.”

Toni mengernyit. “Hah?”

“Itu daftar tempat lo bisa kerja harian. Gue tanya ke beberapa pelanggan warung yang kerja bangunan. Ada yang butuh tenaga buat proyek rumah. Bayarannya cukup buat nutup utang lo, kalau lo serius.”

Toni tertawa mengejek. “Lo pikir gue mau kerja kayak lo? Nyuci piring, ngelap meja?”

Reyhan menatapnya tajam. “Kalau lo lebih milih nyebar aib gue buat dapet uang cepat, silakan. Tapi lo pikir gue takut? Kalau semua orang tahu gue kerja di sini, terus kenapa? Lo kira gue malu? Gue baru belajar jadi manusia, dan gue gak akan berhenti cuma karena ancaman murahan.”

Toni terdiam. Wajahnya berubah, tak menyangka Reyhan berani bicara seperti itu.

Reyhan berdiri. “Silakan, mau pilih jalan cepat atau jalan bermartabat. Tapi mulai sekarang, lo gak bisa kendaliin gue.”

Pak Darto, dari balik dapur, tak bisa menahan senyum kecil. Itu pertama kalinya ia melihat anaknya berdiri untuk sesuatu yang tidak bisa dibeli.

Toni mendesis, lalu merobek kertas itu. “Kita lihat aja, Reyhan. Dunia ini gak sebersih yang lo pikir.”

Ia pergi sambil menendang kursi. Tapi ia kalah—bukan secara fisik, tapi secara moral.

Setelah kepergian Toni, Reyhan membersihkan meja seperti biasa. Tapi kali ini, ia melakukannya dengan kepala tegak.

Pak Darto menghampirinya. “Kamu tahu, anak muda... orang kaya yang sesungguhnya bukan yang punya banyak uang. Tapi yang tahu kapan harus berdiri, walau sendirian.”

Reyhan menatapnya dan tersenyum. “Saya baru mulai belajar, Pak.”

Tapi belum sempat keduanya kembali bekerja, sebuah mobil hitam berhenti di depan warung.

Seorang pria berkacamata hitam keluar, membawa koper... dan kabar yang bisa mengubah segalanya.

Lanjut ke Bab 7: Surat Wasiat yang Mengguncang

NOVEL "PEWARISAN TERAKHIR": Ancaman dari Arah Tak Terduga (CHAPTER 5)

 

Dini hari di warung itu biasanya sunyi. Namun malam itu, Reyhan tak bisa tidur. Ia duduk di kursi plastik, menatap layar ponsel yang kini menjadi sumber ketakutan baru. Ia tahu, satu foto Vincent saja cukup untuk membuat hidupnya runtuh—dan semua yang ia bangun dalam diam akan lenyap.

Pak Darto—Armand Prasetya yang menyamar—diam memperhatikan dari balik tirai dapur. Ia tahu Reyhan gelisah. Tapi ia ingin tahu, apakah anak itu akan kabur dari masalah... atau menghadapi.

Saat matahari terbit, sesuatu yang tak terduga terjadi.

Seorang pria kurus, berkaos hitam dan membawa selebaran, berdiri di depan warung. Namanya Toni. Ia tukang parkir setempat, kadang-kadang bantu angkut galon. Tapi pagi itu, Toni memegang kartu truf.

Ia menatap Reyhan lama, lalu berkata pelan, “Lo anaknya Prasetya, ya?”

Reyhan membeku. “Apa maksud lo?”

Toni mengeluarkan ponselnya. Di layar, tampak foto Vincent dan Reyhan—di warung, saat itu juga. Caption-nya samar: "Si anak sultan nyuci piring? Dunia kebalik, bro."

“Gue gak peduli siapa lo. Tapi gue tahu, banyak orang yang bakal peduli,” ujar Toni. “Termasuk media. Termasuk... musuh bokap lo.”

Reyhan menatapnya tajam. “Lo mau apa?”

Toni menyeringai. “Gue cuma bilang: rahasia, itu mahal. Tapi bisa gue jaga... kalau lo bantu gue.”

“Bantu apa?”

“Ada orang yang punya utang sama gue. Lo bantu lunasin, lima juta aja. Gak gede buat anak orang kaya, kan?”

Reyhan mendidih. Ia ingin meninju Toni saat itu juga. Tapi ia sadar, satu tindakanceroboh bisa membuat semuanya kacau. Ia hanya berkata pelan, “Gue pikirin.”

Toni tertawa. “Pikirin cepat. Soalnya rahasia itu gampang bocor kalau terlalu lama dipendam.”

Toni pergi, meninggalkan jejak ancaman di udara.

Sore harinya, Reyhan terlihat murung. Ia mencuci piring lebih lambat dari biasanya, dan beberapa kali salah pesan. Pak Darto akhirnya mendekat.

“Kamu gak fokus,” ujarnya tegas.

“Maaf, Pak. Ada yang... ganggu pikiran.”

Pak Darto menatapnya lama. “Kalau kamu lari sekarang, semua yang kamu pelajari di sini akan sia-sia.”

Reyhan menunduk. “Saya gak mau lari. Tapi saya juga gak tahu harus ngapain.”

Pak Darto berpaling. Ia tahu saatnya hampir tiba. Tapi satu hal belum ia lihat dari anaknya: keberanian untuk melawan dengan caranya sendiri.

Dan malam itu, Reyhan duduk menulis sesuatu di selembar kertas. Ia tidak bicara pada siapa-siapa. Tapi raut wajahnya berubah.

Besok, ia akan menantang Toni... tanpa menyebut siapa dirinya sebenarnya.

Lanjut ke Bab 6: Perlawanan Dimulai, Tanpa Nama Keluarga

NOVEL “PEWARISAN TERAKHIR": Kebenaran yang Nyaris Terungkap (CHAPTER 4)

 

Malam turun perlahan di langit Ciputat. Lampu warung menyala temaram, menyinari ruang sempit yang kini terasa hangat bagi Reyhan. Ia mulai terbiasa dengan kehidupan ini—bukan karena mudah, tapi karena nyata. Tak ada kemewahan palsu, tak ada pujian basa-basi. Hanya kerja keras, keringat, dan secuil harga diri yang mulai tumbuh kembali.

Namun, di sisi lain kota, seseorang sibuk mengetik pesan singkat.

Dari: Vincent
Kepada: Armand Prasetya
"Pak Armand, saya tidak tahu apakah ini penting, tapi saya tadi siang melihat Reyhan bekerja di sebuah warung kecil di Ciputat. Apakah Anda tahu tentang ini?"

Pesan itu dikirim. Dan kini, nasib Reyhan tergantung pada satu layar ponsel.

Di warung, Pak Darto duduk di belakang sambil memperbaiki regulator gas yang mulai longgar. Reyhan sedang membersihkan meja, dan malam terasa damai... sampai suara sepeda motor berhenti di depan.

Seseorang turun—perempuan, muda, wajahnya akrab. Reyhan menoleh dan terkejut.

“Ara?”

Ara, mantan kekasih Reyhan, berdiri kikuk di depan warung. Rambutnya kini lebih pendek, wajahnya tidak lagi bermakeup tebal seperti dulu. Tapi senyumnya tetap sama—tulus dan hangat.

“Aku... lihat postingan Vincent. Dia upload di Instagram, terus aku cari alamatnya,” kata Ara pelan.

Reyhan langsung pucat. “Dia upload?”

Ara mengangguk. “Story aja sih. Tapi... banyak yang lihat.”

Reyhan memegang kepalanya. “Sial... Kalau Papa tahu...”

Pak Darto mendekat perlahan, pura-pura tidak tahu, namun hatinya waspada. Ia tahu waktunya menyamar bisa jadi tak lama lagi.

Ara duduk. “Kenapa kamu di sini, Rey? Apa yang sebenarnya kamu cari?”

Reyhan menghela napas. “Aku... jenuh. Dulu aku hidup enak, tapi gak tahu buat apa. Di sini... setidaknya aku bisa ngerasa hidup. Gak tahu ya, mungkin aneh.”

Ara tersenyum lembut. “Kamu gak aneh. Kamu baru mulai jadi manusia.”

Pak Darto menahan napas mendengar kalimat itu.

Namun sebelum percakapan itu bisa berlanjut, ponsel Reyhan bergetar keras.

PAPA — panggilan masuk.

Reyhan terpaku. Napasnya tercekat. Layar ponsel menunjukkan wajah yang seharusnya sedang “dirawat” di Swiss.

Dengan tangan gemetar, ia menolak panggilan itu.

Pak Darto menatap Reyhan dalam diam, jantungnya berdetak kencang.

"Dia belum tahu... atau justru sudah?" pikir Armand dalam hati.

Malam itu, Reyhan duduk sendiri di sudut warung, menatap langit yang gelap. Ia tahu waktunya tak banyak. Kalau semua terbongkar, hidupnya akan kembali seperti dulu—dan itu yang paling ia takuti sekarang.

NOVEL “PEWARISAN TERAKHIR": Tamu Tak Diundang Membawa Kebenaran (CHAPTER 3)

 

Pagi ketujuh di warung Pak Darto dimulai seperti biasanya: bau gorengan panas, bunyi sendok beradu dengan wajan, dan Reyhan yang mulai terbiasa dengan ritme barunya. Ia sudah hafal pelanggan tetap, sudah tahu kapan harus mengganti minyak, bahkan mulai bisa masak mie instan tanpa membuatnya terlalu lembek.

Namun hari itu berbeda. Ketika jam makan siang tiba, seorang pria berjas masuk ke warung kecil itu. Penampilannya mencolok—celana bahan rapi, sepatu mengilap, dan arloji mahal yang tak cocok dengan kursi plastik tempat ia duduk. Ia memandangi Reyhan dengan tatapan kaget.

“Reyhan Prasetya?” tanyanya setengah berbisik.

Reyhan menoleh, wajahnya kaget, seperti tertangkap basah sedang berbohong.

“Vincent?” sahut Reyhan. “Ngapain lo di sini?”

Vincent adalah teman kuliahnya di London, anak pengusaha properti juga, biasa nongkrong di rooftop bar dan naik helikopter untuk liburan akhir pekan. Kini dia duduk di warung kecil di Ciputat, menatap sahabat lamanya yang sedang membawa baki isi es teh dan nasi goreng telur.

“Astaga, Rey... lo kenapa? Dibuang bokap lo, ya?”

Reyhan hanya tersenyum hambar. “Gak usah dibesar-besarin. Gue cuma lagi... ya, nyari pengalaman.”

Pak Darto diam dari balik dapur, tapi telinganya tajam. Nama “Prasetya” yang disebut Vincent cukup untuk membuatnya waspada.

Vincent tertawa sinis. “Nyari pengalaman? Lo yakin bokap lo gak tahu? Armand Prasetya? Dia pasti panik kalau tahu anaknya kerja di tempat kayak gini.”

“Ssst! Jangan keras-keras,” potong Reyhan cepat. “Gue belum cerita siapa-siapa. Dan tolong, jangan bilang siapa-siapa juga.”

Vincent mengangkat alis, namun akhirnya mengangguk. “Oke, rahasia. Tapi lo gila. Ini bukan lo yang gue kenal.”

Ketika Vincent pergi, Reyhan kembali ke dapur dengan napas berat.

“Teman lama?” tanya Pak Darto tanpa menoleh.

Reyhan mengangguk. “Dulu... dari masa lalu.”

“Dia tahu kamu siapa sebenarnya?”

Reyhan terdiam. Lalu menjawab lirih, “Iya.”

Pak Darto menyendok nasi dengan perlahan, matanya kosong menatap dinding.

“Masa lalu memang susah dikubur. Tapi kadang, yang penting bukan siapa kamu dulu... tapi siapa kamu sekarang.”

Reyhan tak tahu harus membalas apa. Ia hanya tahu, satu langkah kecil ke masa lalu bisa menggagalkan segalanya. Ia harus bertahan.

Tapi di luar warung, Vincent menatap ponselnya. Jarinya bergerak membuka kontak.

“Apa yang terjadi kalau Armand tahu anaknya kerja di warung pinggir jalan?” gumamnya.

Lanjut ke Bab 4: Kebenaran yang Nyaris Terungkap

TEKS DESKRIPSI BAHASA INDONESIA: ANGSA YANG ANGGUN

 

TEKS DESKRIPSI BAHASA INDONESIA: ANGSA YANG ANGGUN

Angsa adalah salah satu burung paling elegan dan menawan yang ditemukan di alam. Dikenal karena lehernya yang panjang melengkung dan bulunya yang putih bersih, angsa melambangkan keindahan, keanggunan, dan ketenangan dalam banyak budaya. Angsa termasuk dalam keluarga Anatidae dan berkerabat dekat dengan angsa liar dan bebek. Mereka biasanya ditemukan di lingkungan air tawar maupun air asin seperti danau, sungai, dan daerah pesisir.

Ciri khas angsa yang paling menonjol adalah lehernya yang panjang, yang memungkinkannya mencari tumbuhan air di bawah permukaan. Kaki berselaput mereka yang kuat membuat angsa menjadi perenang yang handal, meluncur di atas air dengan sangat halus tanpa menimbulkan riak besar. Meskipun sebagian besar angsa berwarna putih, ada juga spesies seperti Angsa Hitam dari Australia yang memiliki bulu gelap dan paruh merah mencolok.

Angsa adalah makhluk monogami, sering membentuk ikatan seumur hidup dengan pasangannya. Selama musim kawin, angsa membangun sarang besar di tepi air menggunakan alang-alang, rumput, dan vegetasi lainnya. Betina, yang disebut pen, biasanya bertelur antara empat hingga tujuh butir, yang dierami sambil dijaga oleh jantan, atau cob.

Meski terlihat lembut, angsa bisa sangat agresif saat melindungi sarang atau anak-anaknya yang disebut cygnet. Sayapnya yang kuat dan paruhnya yang kokoh menjadikannya lawan tangguh jika merasa terancam.

Secara budaya, angsa sering dikaitkan dengan cinta, perubahan, dan kemurnian. Mereka muncul dalam berbagai mitos, dongeng, dan balet, yang paling terkenal adalah "Swan Lake" karya Tchaikovsky.

Di alam, angsa berperan penting dalam menjaga keseimbangan ekosistem dengan mengendalikan tumbuhan air dan menjadi bagian dari rantai makanan. Dengan keindahan dan ketenangan yang dimilikinya, angsa tetap menjadi simbol kekaguman di mana pun mereka berada.

NARRATIVE TEXT BAHASA INGGRIS: A MORNING WITH THE SWAN

 


The first rays of sunlight filtered through the trees, casting a golden shimmer over the calm surface of the lake. I sat quietly on the grassy bank, the morning air cool and fresh. A gentle breeze rustled the reeds, and theworld seemed at peace. Then, I saw her — a swan gliding silently across the water.

She moved with such grace that it was almost as if she were floating on air. Her white feathers shone under the rising sun, and her long neck curved like a question mark as she searched beneath the surface for food. I watched in awe, barely daring to move, afraid that any sound might disturb the serenity of the moment.

Soon, a second swan appeared, joining the first. They moved in perfect harmony, side by side, as if dancing to music only they could hear. Every so often, they would dip their heads in unison or flap their wings gently. The bond between them was clear — partners in life, sharing every moment.

Suddenly, the first swan let out a soft call. From the tall grass nearby, three small cygnets waddled into view. Fluffy and gray, they followed their mother into the water, paddling awkwardly but with determination. It was a tender, almost magical sight — a family united by instinct and love.

I stayed there for a while, watching them explore the lake together. The world felt slower, softer, as if time itself had paused for this quiet moment. Eventually, the swans drifted farther out, disappearing into the mist that hovered above the water.

As I stood to leave, I felt a strange sense of peace. Nature had shared a secret with me that morning — a glimpse into the quiet beauty of life, love, and grace in the form of a swan.

TEKS NARASI DALAM BAHASA INDONESIA: PAGI BERSAMA ANGSA

 


Sinar matahari pertama menembus pepohonan, memantulkan cahaya keemasan di permukaan danau yang tenang. Aku duduk diam di tepi rerumputan, menikmati udara pagi yang sejuk dan segar. Angin lembut meniupkan suara lirih di antara ilalang, dan dunia terasa begitu damai. Lalu, aku melihatnya — seekor angsa yang meluncur pelan di atas air.

Ia bergerak dengan begitu anggun, seolah-olah tidak menyentuh permukaan air sama sekali. Bulu-bulunya yang putih berkilau diterpa cahaya matahari pagi, dan lehernya yang panjang melengkung indah saat ia mencari makanan di bawah air. Aku terpaku, nyaris tak berani bergerak, takut mengganggu ketenangan yang ada.

Tak lama kemudian, muncul seekor angsa lain, bergabung dengan yang pertama. Mereka bergerak selaras, berdampingan, seolah menari mengikuti irama yang hanya mereka yang bisa dengar. Sesekali, mereka menunduk bersama atau mengepakkan sayap dengan lembut. Ikatan di antara mereka begitu nyata — pasangan hidup yang saling melengkapi.

Tiba-tiba, angsa pertama mengeluarkan suara lembut. Dari balik ilalang, muncul tiga anak angsa kecil. Bulu mereka abu-abu dan halus, berjalan tertatih menuju air mengikuti sang induk. Mereka berenang dengan canggung tapi penuh semangat. Pemandangan itu terasa sangat hangat — sebuah keluarga yang menyatu karena naluri dan kasih sayang.

Aku tetap duduk di sana, menyaksikan mereka menjelajah danau bersama. Dunia terasa lebih lambat, lebih lembut, seolah waktu berhenti sejenak untuk memberi ruang pada keindahan yang tenang ini. Akhirnya, angsa-angsa itu menjauh, menghilang ke dalam kabut tipis yang menggantung di atas air.

Saat aku berdiri untuk pergi, ada rasa damai yang mengalir di dalam diriku. Alam seperti membisikkan rahasia — tentang keindahan hidup, cinta, dan ketenangan, dalam wujud seekor angsa.

RAJA BODOH YANG SELALU BERUNTUNG DAN PENGAWAL YANG SETIA

 


Pada zaman dahulu kala, di sebuah kerajaan kecil bernama Kerajaan Bahagia, hiduplah seorang raja bernama Raja Bodor. Julukannya adalah "Raja Bodoh" karena ia sering melakukan hal-hal konyol. Tapi anehnya, meskipun terlihat bodoh, Raja Bodor selalu beruntung!

Raja Bodor memiliki seorang pengawal setia bernama Gani. Gani adalah prajurit yang bijak, cerdas, dan sangat sabar menghadapi kelakuan lucu dan aneh rajanya.

Suatu hari, Raja Bodor ingin berburu ke hutan. Ia memerintahkan Gani untuk menemaninya. Tapi Raja Bodor malah membawa sendok dan panci, bukan pedang atau busur!

"Tuanku, itu bukan perlengkapan berburu..." kata Gani ragu.

"Tentu saja ini perlengkapan berburu! Kita bisa menanak nasi di tengah hutan, siapa tahu kita bertemu kelinci yang suka makan bersama," jawab Raja Bodor ceria.

Gani hanya tersenyum dan mengikuti perintah.

Di tengah hutan, hujan turun deras. Mereka berteduh di sebuah gua. Ternyata, gua itu adalah sarang sekelompok perampok! Gani panik, tapi Raja Bodor malah membukapancinya dan mulai menyalakan api.

"Ayo, kita masak sup daun saja dulu, Gani!" serunya.

Para perampok yang melihat asap dari gua mengira gua mereka terbakar. Mereka lari ketakutan, meninggalkan harta rampasan mereka. Ketika Raja Bodor dan Gani masuk ke dalam gua, mereka malah menemukan peti-peti berisi emas!

"Wah, aku bilang juga apa, kita pasti beruntung hari ini!" ujar Raja Bodor senang, sambil memasukkan emas ke dalam panci.

Gani hanya bisa menggeleng sambil tertawa. "Raja kita memang aneh, tapi selalu diberkahi keberuntungan."

Kabar keberuntungan Raja Bodor menyebar ke seluruh negeri. Banyak orang yang datang meminta nasihat padanya, padahal ia tak sadar mengapa ia bisa selalu beruntung.

Tapi Gani tahu rahasianya. Meskipun terlihat bodoh, Raja Bodor selalu berpikiran positif, tidak pernah marah, dan memperlakukan semua orang dengan ramah—itulah yang membawa keberuntungan datang padanya.

 

Pesan Moral:

Cerita ini mengajarkan bahwa keberuntungan sering datang kepada orang yang berpikiranpositif, bersikap baik, dan tidak mudah marah. Meskipun kita tidak selalu pintar dalam segala hal, sikap baik hati dan rasa syukur bisa membawa kebahagiaan dan berkah yang luar biasa. Dan yang terpenting, kesetiaan dan kesabaran seperti yang ditunjukkan oleh Gani adalah hal yang sangat berharga dalam hidup.

RAJA BODOH YANG MENYELESAIKAN MASALAH RUMIT

 


Di sebuah negeri bernama Kerajaan Anehlandia, hiduplah seorang raja yang dikenal semua orang sebagai Raja Bodoh. Namanya Raja Dungu, dan ia memang sering bingung sendiri, lupa arah, bahkan pernah mencoba menyirami bunga dengan susu!

Meski begitu, rakyat Anehlandia sangat menyayanginya. Ia tidak pernah marah, selalu murah senyum, dan sangat peduli pada rakyatnya.

Suatu hari, datanglah masalah besar. Sungai utama yang mengalir ke seluruh kota tiba-tiba berhenti mengalir. Air menjadi langka. Petani tidak bisa menyiram tanaman, warga tak bisa mandi, dan hewan-hewan pun kehausan.

Para penasihat kerajaan berkumpul dan berdiskusi berjam-jam.

“Barangkali aliran sungai dibendung batu besar,” kata satu penasihat.

“Mungkin airnya dicuri naga!” kata yang lain.

Namun, tak ada satu pun yang punya solusi pasti.

Akhirnya, Raja Dungu datang sambil membawa ember dan sendok.

“Ada apa ini? Kenapa semua orang panik?” tanyanya polos.

Penasihat utama menjelaskan, “Sungai kita berhenti mengalir, Tuanku. Kami sedang mencari solusi.”

Raja Dungu mengangguk-angguk. Ia lalu berkata, “Kalau begitu, kita cari sumber sungainya dan tanya langsung kenapa dia berhenti!”

Semua tertawa. “Mana mungkin sungai bisa bicara, Tuanku!”

Tapi Raja Dungu tetap berangkat. Ia mengajak lima orang petani, dua anak kecil, dan seekor kambing. Mereka berjalan menyusuri sungai yang kering.

Setelah dua hari berjalan, mereka tiba di pegunungan. Ternyata, ada seekor kerbau tua yang terjatuh dan menutup sumber air sungai dengan tubuhnya!

Kerbau itu terluka dan tak bisa bergerak.

“Kasihan sekali!” kata Raja Dungu. Ia segera menyuruh timnya membuat tandu dari kayu. Bersama-sama, mereka mengangkat kerbau itu dari sumber air.

Begitu kerbau diangkat, air pun mulai mengalir lagi!

“Air kembali! Sungainya hidup lagi!” teriak anak-anak dengan gembira.

Saat mereka pulang, seluruh rakyat menyambut Raja Dungu dengan sorak sorai.

Penasihat utama kagum dan berkata, “Tuanku... sungguh tak kami sangka, idesederhana Tuanku menyelamatkan seluruh negeri!”

Raja Dungu tersenyum dan berkata, “Aku hanya ingin bertanya pada sungai. Ternyata dia memang butuh bantuan.”

 

Pesan Moral:

Cerita ini mengajarkan bahwa kecerdasan bukan hanya soal logika atau ilmu. Kadang, niat baik, kepedulian, dan keberanian untuk bertindak adalah kunci untuk menyelesaikan masalah rumit. Jangan meremehkan seseorang hanya karena ia terlihat berbeda atau tidak biasa. Bahkan yang dianggap "bodoh" bisa membawa perubahan besar jika ia punya hati yang tulus.