Showing posts with label cerita anak. Show all posts
Showing posts with label cerita anak. Show all posts

NAMA KATAK DALAM CERITA NARUTO

 



Berikut beberapa nama katak yang ada dalam cerita Naruto

·       Katak Senior:

-       Gamamaru (Ōgama Sennin): Katak tertua yang dihormati di Gunung Myōboku dengan kemampuan meramal masa depan.

-       Fukasaku: Katak berusia lebih dari 800 tahun yang bijak dan ahli dalam menggunakan genjutsu, serta suami dari Shima.

-       Shima: Istri Fukasaku yang juga bijaksana dan memiliki intuisi tajam dalam pertarungan.

·       Katak Pemimpin:

-       Gamabunta: Bos katak di Gunung Myōboku yang memiliki kekuatan fisik luar biasa dan bisa mengeluarkan minyak katak.

·       Katak Kuat:

-       Gamahiro: Katak raksasa yang membawa dua katana besar dan terampil dalam menggunakan taijutsu.

-       Gamaken: Katak besar yang membawa sasumata dan tameng sakazuki, serta memiliki kemampuan bertempur yang seimbang.

·       Katak Lainnya:

-       Gama: Katak yang berperan sebagai penjaga gulungan kontrak kuchiyose.

-       Gamakichi: Anak sulung Gamabunta yang cerdas dan memiliki kemampuan menggabungkan genjutsu dan senjutsu.

-       Gamatatsu: Adik Gamakichi yang memiliki sifat polos dan bisa mengeluarkan semburan minyak.

-       Gamariki: Katak yang ahli dalam menggunakan genjutsu dan memiliki teknik ciuman yang bisa menjebak musuh.

-       Gerotora (Gamatora): Katak yang menjaga gulungan rahasia dan dipercaya oleh Minato.

-       Gamatama: Katak muda yang bertugas sebagai petugas registrasi nama di Gunung Myōboku.

-       Gamakou: Anak Fukasaku dan Shima yang dijuluki "Toad Prince".

FABEL: SPEEDY CAT AND CHILL TURTLE

 


In a peaceful little village lived two very different friends: Koko the cat and Kuri the turtle.
Koko was known for being agile, fast, and just a little bit arrogant.
Meanwhile, Kuri was slow, calm, and always carried his house wherever he went.

One day, Koko was sitting on a fence, teasing Kuri, who was slowly making his way to the pond.

“Hey, Kuri! Are you walking or daydreaming? If you had a walking race with a snail, the snail would probably get mad for having to wait for you!” Koko laughed out loud.

Kuri stopped and looked at Koko patiently. “You know, Koko? Sometimes the slow ones are the ones who arrive first.”

Koko laughed even harder. “What?! Are you saying you could beat me in a race?”

Kuri smiled. “Let’s prove it. Let’s race from here to the big mango tree at the edge of the meadow.”

Feeling like he had already won, Koko agreed without hesitation.

The next day, all the animals in the village gathered to watch. There was Mouse, Chicken, Duck, and even Pig, who came carrying a bucket of popcorn (no one knows from where). The race was about to begin!

“Three... two... one... GO!” shouted Duck, who was acting as the referee.

Koko shot off like an arrow. Dust flew, leaves spun, and within seconds, Koko was already halfway there. He looked back—Kuri hadn’t even reached the first bend.

“This is way too easy,” Koko thought. “I can take a little nap and still win.”

He lay down under a tree and started purring softly, “Zzz... zzz…”

Meanwhile, Kuri kept walking slowly but steadily. “Small steps, but steady,” he mumbled with a smile.

Hours passed. Koko was still fast asleep, dreaming of grilled fish and dining with a Persian cat in Paris.

Eventually, Kuri passed by the sleeping Koko, silent as ever. Step by step, he made it to the finish line, greeted by cheers from all the animals.

As the sun was about to set, Koko woke up and was shocked to see Kuri surrounded by excited friends.

“What?! How is that possible?!” Koko asked in disbelief.

Kuri just smiled. “You’re fast, Koko, but I’m consistent.”

Koko bowed his head in shame, then burst out laughing. “Alright, Kuri. From now on, I won’t underestimate turtles ever again. Not even the ones carrying luggage!”

All the animals burst out laughing. Pig even choked on his popcorn.

Since that day, Koko and Kuri remained best friends. Koko learned to be more patient, and Kuri... well, he kept walking slowly. Because really, what’s the rush when you can take it easy and still get there?

Moral of the story: Don’t be arrogant just because you’re fast, and don’t feel small just because you’re slow. What matters most is to keep moving forward!

 

FABEL: "SI KUCING CEPAT, SI KURA SANTAI"

 


Di sebuah desa kecil yang damai, tinggallah dua sahabat yang sangat berbeda: Koko si kucing dan Kuri si kura-kura. Koko terkenal lincah, cepat, dan sedikit sombong. Sementara Kuri dikenal lambat, tenang, dan selalu membawa rumahnya ke mana pun ia pergi.

Suatu hari, Koko duduk di atas pagar sambil mengejek Kuri yang sedang berjalan pelan sekali menuju kolam.

“Hei, Kuri! Kamu itu jalan atau lagi ngelamun? Kalau kamu lomba jalan sama siput, bisa-bisa siputnya marah karena nungguin kamu!” kata Koko sambil tertawa terbahak-bahak.

Kuri berhenti dan menatap Koko dengan sabar. “Kamu tahu, Koko? Kadang yang lambat justru sampai duluan.”

Koko tertawa lebih keras. “Apa?! Kamu mau bilang kamu bisa ngalahin aku dalam lomba?”

Kuri tersenyum. “Yuk, kita buktikan. Kita adakan lomba dari sini sampai pohon mangga besar di ujung padang rumput.”

Koko yang merasa menang sebelum bertanding langsung menyetujui.

Keesokan harinya, semua hewan di desa berkumpul. Ada Tikus, Ayam, Bebek, bahkan Si Babi datang membawa popcorn (entah dari mana). Lomba dimulai!

“Tiga... dua... satu... MULAI!” teriak Bebek yang jadi wasit.

Koko langsung melesat seperti panah. Debu beterbangan, daun-daun berputar, dan dalam hitungan detik, Koko sudah setengah jalan. Ia melihat ke belakang. Kuri bahkan belum mencapai tikungan pertama.

“Yah, ini terlalu mudah,” pikir Koko. “Aku tidur sebentar saja, masih sempat menang.”

Koko lalu rebahan di bawah pohon sambil mengeong pelan, “Zzz... zzz…”

Sementara itu, Kuri berjalan pelan-pelan, tapi tidak berhenti. “Langkah kecil, tapi pasti,” gumamnya sambil senyum-senyum sendiri.

Jam demi jam berlalu. Koko masih terlelap, bahkan sampai mimpi makan ikan bakar bersama kucing Persia di Paris.

Kuri akhirnya melewati Koko yang tidur pulas dan melanjutkan perjalanannya tanpa suara. Ia tiba di garis akhir disambut tepuk tangan hewan-hewan desa.

Saat matahari hampir terbenam, Koko terbangun dan terkejut melihat Kuri sudah dikerubungi teman-teman yang bersorak.

“Apa?! Kok bisa?!” tanya Koko panik.

Kuri hanya tersenyum, “Kamu cepat, tapi aku konsisten.”

Koko tertunduk malu, lalu tertawa. “Baiklah, Kuri. Mulai sekarang, aku nggak akan meremehkan kura-kura lagi. Bahkan kalau kura-kura itu bawa koper.”

Semua hewan tertawa. Bahkan Babi sampai tersedak popcorn.

Sejak hari itu, Koko dan Kuri tetap bersahabat. Koko belajar untuk sabar, dan Kuri belajar... untuk tetap jalan pelan saja. Karena kenapa harus cepat-cepat kalau bisa santai dan tetap sampai?

Pesan moral: Jangan sombong karena cepat, dan jangan minder karena lambat. Yang penting, terus melangkah!

 

PEMILIK TOKO YANG PEMARAH DAN SI PENGEMIS YANG BERHATI MULIA

 


 

 

Setiap pagi Apin tak pernah telat membuka toko sembakonya. Akan tetapi , setiap membuka tokohnya Apin selalu kesal. Ia selalu mendapati seorang pengemis selalu tidur di depan tokonya.

Hari pertama Apin membuka toko dan melihat si pengemis sedang tidur. Merasa geram Apin mengambil sebuah kemoceng dan mengganggu sang pengemis supaya bangun.

Apin:   uiiiii….uiiii… (kata Apin sambil menusuk-nusuk bulu kemoceng ke hidung sang pengemis yang tidur)…
Pengemis: hemmm..(terbangun samba mengucek-ngucek matanya)
Apin: ngapain kamu ada di depan toko saya.. pergi sana..
Sang pengemis pun lari terbirit-birit meninggalkan toko milik Apin. Melihat pengemis itu lari Apin merasa tenang.

Hari kedua Apin kemabali membuka toko nya lebih awal. Apin ternyata masih mendapati sang pengemis tidur didepan tokonya. Sang pengemis tampak tidur pulas sambil sesekali ngupil. Melihat tingkah sang pengemis, Apin naik pitam. Ia pun pergi kedapur dan mengambil seember air hujan..

Gyuuuuuuurrrrrrrrrrr..sang pengemis pun bangun dengan basah kuyup..

Apin: kamu ini tidak tahu diri ya, sudah saya usir masih juga kamu disini.. pergii kamu pergi.. (teriak apin kepada sang pengemis)
Sang pengemis tanpa berkata banyak langsung lari.. Samsono, pemilik ruko yang ada di sebelah toko sembako Apin pun geleng-geleng melihat Apin yang sedang marah..
Samsono: Sabar Pin dia itu manusia jugaaa..
Apin: abis tak tahu diri tu pengemis, ada terus.. kalau besok masih ada lagi dia akan aku pukul.. (kata apin dengan urat yang muncul di bagian kepalanya)

Malam berlalu, dihari ketiga Apin kembali mebuka tokonya di pagi hari. Apin mencium ada bau air kencing dibagian pintunya. Lagi-lagi sang pengemis masih saja tidur di depan rukonya. Dengan sekuat tenaga Apin pun memukul si pengemis…
Gebakkkkkk… Gebuuukkk….Gebakkk Gebuukkkkk..

Apin: Awas kamu ada disini lagi.. kalau masih ada disini, kamu saya jamin bakal masuk rumah sakit..
Pengemis: Ampun pakkk..ampunnn.. (ucap sang pengemis, sambil merintih dan pergi meninggalkan toko Apin)

Samsono yang melihat kelakuan Apin justru mengelus dada. Ia pun kembali menasehati Apin.
Samsono: Sabar Apin.. diakan cuma numpang tidur.. dia juga manusia, tidak boleh diperlakukan begitu.. nanti kamu menyesal..
Apin: biarkan saja, tidak ada manfaatnya pengemis itu..

Pada hari ke empat, Apin kembali membuka tokonya seperti biasa. Namun ada yang berbeda, Apin tidak menemui sang pengemis tertidur di depan tokonya. Demikian pula hari ke lima dan hari ke tujuh.

Pada hari selanjutnya Apin justru merasa jangal dengan tidak adanya si pengemis. Ia justru merasa bersalah dengan sang pengemis. Samsono yang melihat Apin mencari-cari sang pengemis menegurnya.

Samsono: kan kamu mencari pengemis itu.. dia tidak akan pernah kembali pada mu..
Apin: kenapa begitu?
Samsono: kamu pasti akan tahu.. (ucapnya sambil memandang sebuah kamera CCTV yang terpajang di depan toko Apin)

Mengetahui isyarat dari Samsono, Apin pun membuka data file CCTVnya. Pada malam hari pertama sang pengemis tidur di depan rukonya, putri dari Apin tampak memberi makan sang pengemis. Pada malam hari kedua, tepat didepan toko, putri dari Apin hendak diperkosa preman, namun si pengemis datang dan berduel dengan para preman, hingga akhirnya sang preman kabur. 

Di malam hari ketiga, terlihat dari CCTV ada seorang pemabuk yang kencing di depan toko milik Apin, dan lagi-lagi sang pengemis mengusirnya. Pada malam hari ke empat, CCTV tersebut meperlihatkan ada dua orang pria yang menggunakan topeng, hendak mencoba membongkar pintu toko Apin. Tiba-tiba sang pengemis datang memergoki mereka, lagi-lagi si pengemis terlibat duel demi mengamankan toko milik Apin. Pada duel itu, salah seorang perampok mengeluarkan sebila pisau dan menusuk sang pengemis. Setelah menusuk kedua perampok pergi meninggalkan sang pengemis yang tak berdaya.
Sang pengemis merintih, dan merayap kedepan pintu ruko Apin, sambil minta tolong. Malangnya, Apin dan pemilik toko lainnya tidak ada yang membukakan pintu. Hingga akhirnya ada seorang pemuda mendapati sang pengemis tak bernyawa, lalu dibawa oleh ambulan.

Melihat hasil CCTV itu, Apin pun sedih dan menyesal karena telah bertindak kasar kepada si pengemis. Hanya karena perawakan sang pengemis yang kumal, Apin lalu membencinya. Hingga pada akhirnya, sang pengemis pergi untuk selamanya.

SANG PUTRI YANG SUKA TIDUR

 


 

Pada suatu hari hiduplah seorang putri bernama naomi, ia tinggal bersama ibu, bapa, kakak, adik, dan bibinya. Ia hidup dalam istana namun sayangnya naomi sangat suka tidur. Bibinya bernama mbok minah selalu kesulitan membangunkan putri naomi bahkan adik dan kakaknya merasa jengkel pada nya.

Di kerajaan bagian utara ada pangeran yang tertarik pada putri naomi bernama pangeran william, namun sayangnya putri naomi tidak menyukai dirinya.

Sekarang adalah jadwal sang putri mandi aduhhh mbo minah kesulitan sekali membangunkan purti naomi, tapi akhirnya putri bangun dan mandi. Ketika putri mandi ibu naomi merasa bingung hampir 2 jam naomi tidak keluar kamar mandi setelah di lihat ternyata putri tertidur. Ibu naomi memarahinya dan di marahi juga oleh ayahnya.

“anaku sayang kenapa kamu suka tidur?”
“iyah lah ayah hidup kan perlu tidur!”
“tapi kamu berlebihan sudah kalau ayah dengar kamu tidurnya berlebihan kamu akan mendapatkan hukuman”

Naomi sangat kecewa keputusan ayahnya itu, akhirnya ia memutuskan untuk pergi meninggalkan istana. Ketika mbok minah hendak membangunkan putri naomi mbok minah terkejut ada sepucuk surat di tempat tidur putri naomi isi surat

“semua keluarga aku, maafkan aku. Aku harus pergi meninggalkan rumah aku sudah tak tahan di istana aku minta maaf..” pesan singkat

Mbok minah terkejut sekali lalu ia memberitahu ibu sang putri ia terkejut dan pingsan. Ayah naomi terkejut dan mengharap putri kembali ke istana.

Putri telah sampai di sebuah rumah kecil yang sangat sederhana rumah itu dihuni oleh seorang kakek dan anaknya bernama dany. Dany berusia 18 sama seperti putri naomi. Putri pergi ke rumah itu dan mengharap ia boleh tinggal disana, kakek itu mengizinkan dan bertanya pada putri mengapa dia pergi dari istana.

Putri naomi menceritakan panjang lebar dan kakek pun mengerti, dany hanya tertawa, dan putri naomi merasa kesal..

Sudah berbulan-bulan ia tinggal disana dany dan naomi merasakan benih benih cinta yang mereka rasakan, meraka jatuh cinta! Namun ibu naomi yang sedang disana mengetahui putri naomi ada disana, ibu naomi menghampiri rumah itu dan membawa putri pulang.

“maafkan ibu dan ayahmu naomi” uacap ibu naomi
“iya ibu tapi aku ingin menikah…”
“oke ibu akan adakan sayembara’
“ehh…” naomi bingung

Padahal ia ingin dengan dany.

Sayembara itu dilaksanakan dan pangeran william ikut di sayembara itu. Dany yang merasa putus asa akhirnya juga mengikuti sayembara itu. Pangeran william curang dalam sayembara itu. Akhirnya dia menang dan sudah di putuskan dia akan menikahi putri namun…
“tunggu!!!” ucap dany
“pangeran william curang!”
“apa?” sontak ibu dan ayah naomi
“apa benar william?” ibu naomi bertanya
“ehh iyah maafkan aku..!” ucap william
“wah pangeran pun curang! Kalau begitu dany lah yang akan menikahi putri naomi!” ucap ibu naomi

Meraka pun menikah dan bahagia selamanya..

MARBHIKE, ULAR PUTIH PEMBERANI

 


 

Pada zaman dahulu, di sebuah Kerajaan di daerah pesisir pantai Pasar Bawah Kabupaten Bengkulu Selatan, Provinsi Bengkulu. Hiduplah sepasang Raja dan Ratu. Sang Raja bernama Soeparau, sedangkan Sang Ratu bernama Dini Terira. Mereka berdua hidup bahagia sampai sang Ratu melahirkan.

Suatu hari, ketika sang Ratu hendak melahirkan, mereka mengharapkan anak yang berbakti dan berwibawa. Kalau bisa si cakep baik perempuan maupun laki-laki. Sebelum sang Ratu melahirkan, sang Ratu mendapat perasaan yang tidak baik terhadap kandungannya. Ternyata, perasaan itu menjadi kenyataan. Sang Ratu melahirkan anak yang tidak meraka harapkan. Akan tetapi, sang Ratu melahirkan seekor ular putih betina. Sang Ratu pun terkejut sambil berkata, “Ini tidak mungkin, ini hanya mimpi kan? Kanda, aku… aku… aku tidak mungkin melahirkan seekor ular putih ini, Ya Tuhan, apakah ini cobaan bagi keluargaku?” Ratu pun menangis karena Ratu tidak menyangka bahwa bayi yang ia lahirkan adalah seekor ular betina yang tidak mereka harapkan.

Lalu, sang ular putih pun berbicara “Bunda, ini merupakan sebuah kutukan dari seorang penyihir keji yang tidak menginginkan Bunda dan Ayah hidup bahagia.”
Ratu pun terkejut ketika mendengar perkataan dari ular putih itu, sambil berkata. “Ya Tuhan. Kanda, ular ini bisa berbicara, apakah ini merupakan keajaiban dari tuhan, Kanda?”
Raja pun tersenyum sambil menjawab, “Mungkin saja Dinda, maka dari itu, alangkah baiknya jika kita merawat ular ini sampai besar kelak, Dinda?” Sang Ratu pun menganggukkan kepalanya sambil berkata, “Baiklah, Kanda, ular ini akan Dinda beri nama Marbhike Poetrie, yaitu ular putih betina yang hebat.

6 tahun kemudian, Marbhike menjadi lebih dewasa, dia sering ke hutan mencari mangsa untuk makananannya sambil diikuti lima orang penjaga.

Suatu hari, entah kenapa dia hanya ingin pergi ke hutan sendirian tanpa harus dikawal para penjaga istana. Ratu melarang Marbhike kehutan sendirian karena ia khawatir terjadi hal-hal buruk yang menimpa Marbhike. Akan tetapi Marbhike merujuk terus-menerus sampai Ratu mengizinkan ia pergi. Ratu sangat keberatan ditinggal Marbhike. Akan tetapi, mau gimana lagi, sang Ratu hanya bisa pasrah sambil berkata, “dengan berat hati bunda melepasmu, nak.” Ratu bersedih. “Terimakasih Bunda, aku akan membawakan kejutan untukmu. Aku berjanji, Bunda.”

Marbhike pun pergi dengan waspada. Ketika di tengah tengah perjalanan. Ternyata, banyak sekali mata-mata yang mengikutinya, termasuk ayahnya. Mereka mengikuti Marbhike agar tidak terjadi hal-hal yang demikian. Mereka sangat sayang kepada Marbhike, karna Marbhike adalah seekor ular yang imut, manis, pintar, dan bisa berbicara.

Ketika Marbhike di tengah-tengah hutan, Marbhike mendengar suara misterius yang menyebut namanya. “Marbhike… Marbhike… Marbhike..” Marbhike sangat ketakutan ketika mendengar suara misterius itu. Tiba-tiba… “auuuu… wah, cantik sekali diriku. Mungkin ini hanya mimpi, coba aku cubit pipiku. Au, sakit.” Marbhke sangat tidak menyangka perkataan yang ia bilang kepada bundanya menjadi kenyataan. “terimakasih, Ya Tuhan. Engkau telah membuatku menjadi manusia” Marbhike terharu.

Tetapi, Marbhike tidak mengetahui bagaimana caranya ia pulang. Untung saja ada sang raja dan pasukanya. Marbhike pun pulang dengan wajah yang sangat gembira dan rindu kepada sang bunda.

Sesampainya di Istana, Marbhike langsung memeluk bunda dan ayahnya. Marbhike menangis terharu karena tidak menyangka dirinya akan menjadi seperti ini. “Bunda, aku sangat senang akhirnya diriku bisa memelukmu. Ayah, terimakasih telah mengantarkanku pulang dengan selamat, yah. Engkau memang ayah yang cerdik dan pemberani.
Marbhike pun menikah dengan sang pangeran dari kerajaan sebelah. Dan akhirnya, Marbhike, sang pangeran, raja, dan ratu pun hidup bahagia selama-lamanya.

 

TEKS FABEL: SEMUT DAN KEPOMPONG || SOAL DAN JAWABANNYA

 Di sebuah hutan yang rindang, hiduplah seekor semut yang sombong. Ia suka mengejek hewan lain yang tidak bisa bergerak cepat seperti dirinya. Suatu hari, ia melihat seekor kepompong yang tergeletak di dahan daun yang patah. Semut itu bergumam, "Hmm, alangkah tidak enaknya menjadi kepompong, terkurung dan tidak bisa kemana-mana". "Menjadi kepompong memang memalukan!", teriak semut.


Namun, takdir berkata lain. Semut itu terjebak dalam lumpur hidup saat sedang berjalan. Ia tidak tahu menahu kalau lumpur itu bisa menghisap dirinya semakin dalam. "Tolong! Tolong!", teriak semut. Kupu-kupu yang dulu diejek semut, mendengar teriakan itu dan segera menolong semut. Setelah semut terbebas dari lumpur, ia mengucapkan terima kasih kepada kupu-kupu.


Soal1. Watak Semut dalam cerita di atas adalah

- A. Sombong

- B. Baik hati

- C. Penyayang

- D. Rendah hati


2. Mengapa semut terjebak dalam lumpur hidup?

- A. Ia tidak tahu lumpur itu bisa menghisap

- B. Ia sengaja masuk ke lumpur

- C. Ia dikejar kupu-kupu

- D. Ia ingin bermain


3. Siapa yang menolong semut dari lumpur hidup?

- A. Kucing

- B. Kupu-kupu

- C. Burung

- D. Semut lain


4. Pesan moral apa yang dapat diambil dari cerita di atas?

- A. Jangan sombong

- B. Jangan menolong

- C. Jangan berbicara

- D. Jangan bergerak


5. Apa yang terjadi pada semut setelah ia terjebak dalam lumpur hidup?

- A. Ia diselamatkan kupu-kupu

- B. Ia mati

- C. Ia selamat sendiri

- D. Ia ditinggalkan 


Berikut adalah jawaban dari soal-soal tersebut:


1. Watak Semut dalam cerita di atas adalah:

- A. Sombong


2. Mengapa semut terjebak dalam lumpur hidup?

- A. Ia tidak tahu lumpur itu bisa menghisap


3. Siapa yang menolong semut dari lumpur hidup?

- B. Kupu-kupu


4. Pesan moral apa yang dapat diambil dari cerita di atas?

- A. Jangan sombong


5. Apa yang terjadi pada semut setelah ia terjebak dalam lumpur hidup?

- A. Ia diselamatkan kupu-kupu 

The Muslim, Misteri Manusia Cahaya

 


Makhluk tersebut terus mendekat, mendekat dan mendekat. Seperti seekor predator yang menginginkan mangsanya. “Tolong” teriak mereka bersamaan. Aisyah dan Rasti gemetaran dan saling memegang tangan satu sama lain. “Ya Allah tolong kami!” teriak Aisyah. Tiba-tiba sebuah cahaya putih-kuning melesat dengan cepat dari belakang makhluk tersebut dan akhirnya menabrak makhluk tersebut hingga jatuh. Karena cahaya tersebut sangat terang Aisyah dan Rasti menutup mata mereka dengan tangan mereka. Dan ketika mereka membuka mata…

2 bulan yang lalu.. Universitas TKS.
“Aduh… Pusing kepalaku” Kata Rio kesal sambil memegang kepalanya. “Kenapa?” Tanya Agus. “Gara-gara pak kumis itu! Matematikanya, Aduh!! Susah banget!” Jawab Mio sambil menggenggam tangannya dengan kuat dan memukulkannya ke meja Kantin. (pause dulu ya.. Ini Rio. Orangnya baik, pintar, mudah bergaul juga jago olahraga terutama bulutangkis. Hanya saja dia ini mudah kesal terutama pada setiap hal yang tidak disukainya. Oke! Play lagi…). “kamu ini! Meja gak salah malah di pukul! Lebih susah lagi pelajaran aku, Bahasa Inggris! Dengan pak Inggris itu..” Jawab Agus sambil memutar bola matanya. (Pause lagi ya… nah yang satu ini namanya Agus! Badannya besar juga tinggi menunjukkan bahwa dirinya adalah seorang atlet, dia Baik juga pintar hanya saja dia sedikit ceroboh. It’s time to play again…).
“Karena Mata pelajaran kuliah sudah habis mampir dulu yuk kerumah!”. Ajak Rio. Agus menerima ajakan Rio dan segera pergi.

Di perjalanan….
“Kawan-kawan tunggu!!” Panggil Hasan sambil berteriak. (Pause sekali lagi! Hasan, orangnya ini baik, pintar badannya tinggi dan sedikit besar. Akan tetapi walaupun berbekal tubuh yang seperti itu, dia sama sekali tidak pernah menunjukkan kekuatannya pada siapapun. Play….). “Hasan ayo!”. Panggil Agus. Di perjalanan, “Grraahhmm!!”. Suara teriakan menyeramkan memekakkan telinga tersebut mengejutkan kawanan 3 serangkai tersebut. “eh.. Suara apa itu?”. Tanya Agus terkejut. “periksa aja yuk!” sambung Rio mengajak. “Hasan, kamu ikut tidak?”. Tanya Rio. “hah.. Iya deh jawab Hasan sedikit ragu. Setelah diperiksa.. Alangkah terkejutnya mereka melihat seorang laki-laki seperti seorang preman diikat kedua tangannya di akar pohon beringin sehingga tubuhnya membentuk huruf “Y”. “Astagfirullah! Apa yang terjadi?”. Tanya Hasan dengan jantung berdebar karena terkejut. “kamu nih nanya sama siapa? Emangnya kami tahu?”. Jawab Rio, panik. “Udah! Tolongin yuk”. Ajak Agus.

Mereka pun menolong orang yang diikat tersebut dengan memanjat. “Paman! Bangun paman!.” teriak Rio. “emangnya dia ini paman kamu Yo?” tanya Agus. “Ssst.. Diam! Orang lagi panik malah bercanda!” jawab Rio tegas. “pak! Bangun pak!” panggil Agus memotong ucapan Rio. “nah.. Sekarang emangnya dia jadi bapak kamu ya Agus!” tanya Rio membalas. Belum sempat Agus memberi jawaban Hasan berkata “Hei diam! Seperti anak kecil saja! sekarang paman ini sudah mulai bergerak”. Benar saja! Orang tersebut langsung bergerak! Dan… “Ugh… Allahu Akbar”. ucap Hasan. Ternyata paman tersebut langsung mencekik Hasan tanpa alasan yang jelas. “Astagfirullah! Apa yang paman lakukan?”. Teriak Agus tegang. Bola Mata orang tersebut langsung berubah merah dan seketika tubuhnya pun dipenuhi dengan bulu juga mulutnya yang memoncong dengan taring yang tajam seperti serigala jadi-jadian.

Kawan-kawan Hasan yang mencoba menolongnya langsung pingsan melihat wujud asli yang mereka tidak pernah melihatnya. Cengkeraman tangannya pada leher Hasan semakin kuat hingga… Allahu Akbar, Allahu Akbar… Suara Adzan telah berkumandang dan waktu Ashar telah tiba. Makhluk tersebut seketika melepas tangannya dari leher hasan dan langsung menghilang menjauh tak tahan akan suara Adzan yang baginya seperti senapan yang siap membunuhnya. “Alhamdulillah… Maha Besar Allah”. Ucap Hasan. Hasan mencoba tuk membangunkan kedua temannya tersebut dan akhirnya mengajak mereka untuk shalat Ashar berjama’ah di Masjid. Mulai dari bangun dari pingsannya sampai pulang dari Masjid kawanan 3 serangkai tersebut diam seribu bahasa.

“kamu nggak apa-apa kan? Hasan?” tanya Rio. “Tidak! Tidak apa-apa!” Jawab Hasan sambil menggelengkan kepalanya. “Dengar ya! Kita sebagai makhluk Allah yang paling sempurna tidak diperbolehkan untuk takut pada sesama makhluk Allah juga! Ingatlah kita itu harus selalu takut kepada Allah saja!”. Sambung Hasan menasihati.

Ghghdsguuhgdaaghrr… Suara yang sangat besar memekakkan telinga itu ternyata sebuah ledakan. Ledakan misterius tersebut membekaskan sebuah lubang besar di lapangan universitas. Semenjak kejadian tak mengenakan tersebut terjadilah berbagai teror yang terjadi… berhari-hari, berminggu-minggu sampai berbulan-bulan. Dan sang penyebab teror tersebut tidak lain tidak bukan makhluk jadi-jadian tersebut.

3 serangkai tadi merasa bersalah bahwa merekalah yang telah menyebabkan teror tersebut. Dan untuk menebusnya mereka akan berusaha untuk menangkap makhluk tersebut. Kebetulan saat itu mereka sedang libur. “Untuk menangkap makhluk tersebut kita memerlukan persiapan yang matang! Pertama kita harus mengetahui kapan makhluk tersebut muncul!” ungkap Agus. “Dia selalu muncul tepat pada pukul 10.10 menit dan 10 detik malam.” Jawab Rio. “karena dia muncul pada malam hari, kita memerlukan penerangan yang memadai.” “oke pertama alat penerangan!” ucap Rio sambil menulisnya di buku catatan kecilnya. “Kemudian kita butuh…”. Tak terasa waktu malam telah tiba sehabis sholat Isya mereka langsung berpencar mencari makhluk tersebut dengan peralatan yang sudah mereka persiapkan.

Di sebuah toko kecil dua gadis remaja keluar dari sana. Mereka hendak untuk pulang ke rumah. Tepat pukul 10.10 Makhluk jadi-jadian tersebut terbang ke luar dan menculik salah seorang di antara mereka, Aisyah. Temannya yang satunya, Rasti tidak tinggal diam dan langsung mengejar makhluk tersebut. Ketika sampai di sebuah lorong kecil makhluk tersebut melemparkan Aisyah kebagian sudutnya. “Aisyah! Kau tidak apa-apa?” Tanya Rasti sambil mendekati Aisyah. Makhluk tersebut turun dari atas lorong dengan membawa sebuah pisau kecil. Makhluk tersebut terus mendekat, mendekat dan mendekat. Seperti seekor predator yang menginginkan mangsanya. “Tolong” teriak mereka bersamaan. Aisyah dan Rasti gemetaran dan saling memegang tangan satu sama lain. “Ya Allah tolong kami!” teriak Aisyah. Tiba-tiba sebuah cahaya putih-kuning melesat sambil mengatakan “Hentikan!” dengan cepat dari belakang makhluk tersebut dan akhirnya menabrak makhluk tersebut hingga jatuh. Karena cahaya tersebut sangat terang Aisyah dan Rasti menutup mata mereka dengan tangan mereka. Dan ketika mereka membuka mata…

Seorang pria menggunakan helm dengan tangan yang bercahaya telah berdiri di depan mereka. Tangannya yang bercahaya tersebut sebenarnya berasal dari sarung tangan yang telah dimodifikasi menjadi sebuah senter. Makhluk tersebut langsung bangun dan mereka pun saling pukul hingga orang berhelm tersebut berhasil melumpuhkannya dan hendak memukulnya. Akan tetapi tiba-tiba makhluk tersebut menghilang dan langsung muncul ke belakang tubuh orang berhelm tersebut dan memukulnya hingga terjatuh. Gubrak!! “menjauh darinya!” teriak Aisyah sambil melemparkan batu bata ke makhluk tersebut. Pak! Pik! Puk! Lemparan batu Aisyah yang dibantu oleh Rasti melesat tepat di wajah makhluk tersebut. Dengan izin Allah batu tersebut terasa sangat dan sangat menyakitkan baginya karena setiap akan melemparkan batu, Aisyah dan Rasti membaca “Bismillahirrahmannirrahim”. Setelah cukup merasa menderita makhluk tersebut menghilang dan muncul di atas gedung. “Hahaahehee.. Mereka tidak akan bisa menangkapku!! Hahahehe..” kata makhluk tersebut, bahagia. “ehem!! Kata… Siapa coba?” ucap orang berhelm yang…. “Ba bagaimana engkau a ada di disini?” tanya makhluk tersebut heran. “Dari …tadi!!. BISMILAHIRRAHMANNIRRAHIM”. Kata orang berhelm tersebut sambil memukul makhluk tersebut dengan keras. Saking kerasnya makhluk tersebut terpelanting jatuh ke lapangan bola yang di sana sudah menunggu… “kkaau llagggi?”. Tanya makhluk tersebut bertambah gugup. “Take This! BISMILAHIRRAHMANNIRRAHIM”. Teriak orang berhelm sambil memukul makhluk tersebut sehingga dia terpelanting kembali ke lorong kecil tadi.

“sebaiknya kalian cepat pulang!” perintah orang berhelm yang ada di lorong kecil tersebut. Kedegubrak!! Ternyata makhluk tersebut sudah kembali ke lorong dalam keadaan… Menyedihkan.. Sungguh menyedihkan… “Pergi!”. Teriak orang berhelm. Aisyah dan Rasti pun langsung pergi. “Sudah cukup! Waktunya engkau untuk bertaubat!”. ucap orang berhelm terebut sambil menunjuk makhluk tersebut. “ghhuaarhhh!! Tolong!” ternyata di dalam makhluk tersebut terdapat manusia di dalamnya. Manusia yang digantung di pohon beringin. “BISMILLAHIRRAHMANNIRRAHIM! Ayo! Ke..lu..ar..kan!!”. Teriak Orang berhelm sambil memegang bahu makhluk tersebut dan menariknya. Dan akhirnya manusia tersebut ke luar dari tubuhnya yang menyebabkan makhluk tersebut menjadi kalang-kabut.

“Aaaaahhh” teriak makhluk tersebut sambil memegang kepalanya. Tiba-tiba lorong tersebut menjadi gelap dan… “Astaghfirullah Apa yang terjadi?” pikir orang berhelm. “Tidakkah engkau mengingatnya? Ini adalah… Hati gelapmu!!.” Jawab makhluk tersebut. “Ingat! Ingat semuanya! Semua dosa kejahatan dan kesalahan yang telah engkau perbuat!!.” Sambung makhluk tersebut. Hal tersebut membuat orang berhelm tersebut menjadi tidak karuan hingga akhirnya dia duduk dengan menegakkan pahanya dan membentangkan kaki bagian bawahnya sehingga tubuhnya membentuk huruf L.. “Kesalahan? Dosa? Semuanya? Hal tersebut… Heh.. Kau salah! Allah telah memngampuni hal tersebut dan sebagai kenangan hal tersebut merupakan pelajaran bagiku untuk tidak mengulanginya di masa yang akan datang!” teriak Hasan. Hal tersebut membuat ilusi kegelapan yang dibuat oleh makhluk tersebut langsung hancur berkeping-keping. “duniaku hancur?! Aaarhh!” teriak makhluk tersebut. “Sekarang waktumu untuk bertaubat! ucapkan!” ucap Orang berhelm sambil kembali menunjukkan telunjuknya. Makhluk itu pun bertaubat dengan khusuk (kelihatannya). Setelah makhluk tersebut bertaubat orang berhelm langsung pergi meninggalkan tempat tersebut. Belum lagi 5 langkah makhluk aneh tadi berencana untuk memukulnya tetapi entah kenapa badannya menjadi sangat kaku tak bisa bergerak. Karena khawatir makhluk tersebut pun mengakui kebesaran Allah dan mengucapkan “ASYHADU ANLA ILAHA ILALLAH WA ASYHADU ANNA MUHAMMADAR RASULULLAH”. Setelah mengucapkan hal tersebut makhluk tersebut berubah menjadi cahaya dan menghilang.

“Hasan!” Panggil Rio sambil menepuk bahu orang berhelm tersebut. ‘Heii.. Keren makhluk tersebut akhirnya pergi untuk selamanya”. Sambung Agus. Sebenarnya orang berhelm yang bertarung dengan makhluk tadi ada 3 oleh sebab itu dia bisa ada di 3 tempat sekaligus. Orang berhelm tersebut beranjak pergi dari tempat itu seakan tidak terjadi apa-apa sambil berpikir “aku? Siapa aku? Apa takdirku? Segala sesuatu yang terjadi padaku merupakan sebuah pelajaran bagiku. Mungkin inilah takdirku, salah satu tujuan hidupku! Aku…. Hamba Allah, Muslim.Dan semua yang terjadi padaku adalah sebuah misteri ilahi yang tidak bisa kubayangkan dan misteri itulah… Takdirku”. “Hasan! Kamu denger nggak?”. Teriak Agus dari belakang. “ya… Kenapa manggil aku?” sahut Hasan yang muncul tiba-tiba dari belakang Rio dan Agus. Rio dan Agus terdiam seribu bahasa sambil menatap Hasan dan orang berhelm yang telah menghilang ditelan malam. Gubrak! “yah… Pingsan lagi!”. Ucap Hasan bingung.

FABEL: PERSAHABATAN BURUNG PIPIT DAN BURUNG RAJAWALI

 


 Suatu hari, Rajawali dan Pipit hinggap bersama di sebuah batu besar.

"Selamat pagi, Rajawali," sapa Pipit ramah.
Rajawali melirik sedikit pada Pipit. Lalu dengan kepala yang terangkat tinggi ia menjawab, "Selamat pagi juga."
"Semoga hari ini semua pekerjaan berjalan lancar." kata Pipit.
"Memang sudah seharusnya begitu," kata Rajawali dengan angkuh. "Aku ingatkan! Kami adalah raja di antara semua burung.

Karena itu, lain kali, sebelum kami bicara, kau jangan menyapa kami dulu!"
"Tapi kita kan satu keluarga?" Pipit memandangi Rajawali dengan heran.
Rajawali menatap Pipit dengan kesal."Kata siapa kita satu keluarga?" bentaknya, meremehkan Pipit.
Dengan tenang Pipit berkata,"Aku ingatkan aku juga bia terbang tinggi seperti kamu. Bahkan aku bisa melakukan hal yang tidak bisa kau lakukan, seperti bernyanyi. Aku bisa menghibur mahkluk lain di bumi."
Perkataan Pipit membuat Rajawali marah. "Berani-beraninya kau membandingkan dirimu dengan aku, mahkluk kecil! Apa kau tidak lihat? Ukuran tubuhmu hanya sebesar batang kakiku! Begitu kuinjak elayang nyawamu!"
Pipit tidak berkata apa-apa. Dengan tenang ia terbang ke atas punggung Rajawali dan hinggap di sana. Kemudian ia mulai mematuk-matuki bulu Rajawali. Betapa kesalnya Rajawali. Ia segera terbang ke angkasa. Dengan berbagai macam gerakan, ia berusaha menjatuhkan Pipit dari punggungnya. Namun tidak berhasil. Pipit melekat di tubuhnya seperti dilem. Rajawali terpaksa hinggap kembali di batu besar tadi. Namun Pipit tetap tidak mau turun.
Pada saat itu lewatlah Kura-kura. Ia tertawa terbahak-bahak melihat pemandangan itu.
"Apa yang kau tertawakan hai mahkuk yang lamban?" bentak Rajawali pada Kura-kura.
Sambil masih tertawa ia berkata,"Sepertinya, kau telah menjadi kuda tunggangan bagi Pipit! Hahaha......."
"Ini adalah urusanku dengan saudaraku. Jangan campuri urusan keluarga kami. Pergi sana! Uruslah urusanmu sendiri!" bentak Rajawali dengan marah. Karena malu ditertawakan, ia terpaksa berkata begitu.
Setelah itu Rajawali terbang tinggi lagi, dengan Pipit masih ada di punggungnya.

DARI HUJAN KEPADA NONA MATAHARI

 


Kepada Nona Kecil penghangat pagi,

Barangkali Nona membaca ini dengan perasaan kesal setengah mati, sepenuh hati. Saya ingin Nona mengetahui bahwa dengan kesungguhan yang sama, saya memohon padamu untuk memaafkan saya. Saya baik-baik saja, Nona, percayalah saya cukup kuat untuk menjadi laki-laki baik. Setidaknya saya akan berusaha untuk tetap baik-baik saja. Yakinlah. Nona tidak perlu mengkhawatirkan tentang apapun. Pada akhirnya, semua tetap akan menjadi baik. Tapi bukankah tidak ada salah satu dari kita yang pernah memulai apapun hingga cerita tentang kita perlu memiliki akhir?

Benarkah kabar-kabar tentang saya ditabur angin hingga membentang demikian padang? Mungkin pengasinganku tidak cukup jauh. Hingga masih ada mata-mata yang membicarakanku, masih mampu mulut-mulut itu mengamatiku. Besok saya akan berangkat ke bulan, bersembunyi pada sisinya yang paling gelap, hingga tidak ada lagi cahaya, tidak pula udara. Dengan begitu tidak akan ada lagi yang bisa menyiarkan berita apapun tentang laki-laki yang mengasingkan diri dari matahari. Nona kecil, kumohon mengertilah. Kamu terlalu menggemaskan untuk menghakimi apapun, biar telinga sekalipun. Tidak ada dosa yang membutuhkan hukuman pancung, Nona. Biarlah cuping-cuping itu bahagia, agar saya masih bisa mengingat satu tempat di mana kamu mengaitkan anak-anak rambutmu ketika malu-malu. Nona cantik sekali saat itu. Sungguh.

Bunga lili itu masih kamu simpan rupanya. Terima kasih sudah mengenangnya, Nona. Kamu masih ingat penghuni satu-satunya Taman Eden kecil saya? Bunga-bunga lili sewarna putih susu. Tentu saja semestinya kamu ingat, saya sendiri yang meminta bantuanmu menanamnya bersama-sama dulu. Aku tidak ingat pernah sejatuh cinta itu pada bunga, Nona, tidak hingga kamu mengatakan padaku arti sebuah lili putih. Kembang-kembang yang seperti tembang doa ibumu ketika kamu menangis kencang melihat cahaya pertama kali, gadis putih suci yang baik hati. Ibumu tentu sangat mencintai bunga lili. Tapi di hariku yang paling jatuh aku melihat kebun itu begitu janggal, bunga yang Nona simpan itu tumbuh dan tinggal. Lili kuning yang saya yakin bukan kamu, kebohongan palsu yang datang dengan begitu riang. Saya tidak berbohong ketika berkata semestinya kamu membenciku, Nona. Begitu pula ketika saya mengatakan kamu tidak mencintai saya. Memberikanmu bunga lili kuning itu sama saja menuduhmu penipu yang penuh kepalsuan, sebuah alasan bukan? Dan seketika kamu melingkarkan janji itu pada jari manismu, maka saat itu saya telah membuat kontrak seumur hidup bersama patah hati.

Nona Kecil,

Saya percaya masing-masing hati punya cerita hujannya sendiri-sendiri. Milikku adalah kamu yang bermain-main hujan bersama payung berwarna kuning menyala. Payung itu cukup lapang untuk meneduhkan kita berdua, tapi kamu memilih untuk memutar-mutarnya dan melompat-lompat seperti kelinci. Hari itu saya mempercayai sesuatu, payung hanya satu dari ribuan ciptaan yang mampu meneduhkan dan jahe bukan satu-satunya hal yang sanggup menghangatkan. Sejak itu saya memanggilmu matahari, ciptaan Tuhan yang menari-nari bersama hujan untuk mengundang pelangi. Barangkali benar bahwa kita tidak pernah diijinkan untuk terlampau mencintai, atau Tuhan akan menunjukkan satu alasan yang membuat masing-masing kita saling membenci. Begitu juga cerita saya dengan hujan. Saya tahu hujan adalah satu-satunya alasan yang membuatmu rela tertahan, sebab saya saja barangkali tidak akan mampu menahanmu. Tapi hari itu hujan, dan dia bahkan saya rasa tidak mencoba menahanmu untuk mengangguk kepada laki-laki yang kamu bilang begitu mencintamu itu. Atau barangkali Nona ingin membelanya? Bahwa hujan sudah cukup berusaha?

Nona Kecil yang masih kupanggil matahari,

Saya mohon berhentilah meminta pada Tuhan untuk menghentikan waktu. Seperti pada riwayat Selene yang dewi bulan dan seorang gembala itu, permintaan semacam itu akan membawa kedukaan yang begitu panjang. Percayalah bahwa cinta diperjuangkan sebab keberadaan ketidakabadian hingga maut akan tetap niscaya. Mengertilah, hidup tidak pernah diciptakan sebercanda itu.

TEKS FIKSI: PENSIL KEBAHAGIAAN

 

Pada suatu hari, hiduplah seorang anak bernama Sanafika Dirsya. Bersekolah di SDSN Ceria dan duduk di kelas 5. Ia dikenal sebagai pemalas dan sering mendapat nilai jelek baik tugas maupun latihan. Tapi, Sanaf tetaplah Sanaf, tak ingin berubah menjadi lebih baik.

Di rumah, Sanaf menatap tajam kertas ulangan yang dipegangnya. “Haruskah nilai jelek yang tertera di kertas ini? Menyebalkan!” kesal Sanaf dan meremas kertas itu lalu membuangnya dengan asal. “Sanaf, kamu kenapa?” tiba-tiba mama sudah ada di dekatnya. “Aku gak apa-apa!” bohong Sanaf. “Kalau baik-baik saja, mengapa kamu meremas dan membuang kertas ini?” tanya mama sambil memegang remasan kertas yang dibuang Sanaf. Sanaf terkejut karena mama memegang kertas ulangannya. “Maaf ma, aku akan membuangnya!” ujar Sanaf dan ingin meraih kertas tersebut dari mama namun beliau menghindar lalu melihat isi kertas.

“Oh, ini nilai ulanganmu!” seru mama sambil menggelengkan kepala. Sanaf menundukkan kepala. Ia merasa bersalah. “Kenapa kamu membuangnya?”, “Aku gak mau mama marah!” tegas Sanaf. Mama mengangguk lalu memberikan sebuah pensil untuk Sanaf. “Ini pensil kebahagiaan. Dulu, mama pakai ini dan nilai selama bersekolah bagus. Tapi, mama harus belajar agar pensil ini mau membantu mama. Kalau mama gak belajar, pensil ini tidak mau membantu sama sekali. Sekarang pensil ini untukmu!” Sanaf heran menatap pensil itu dan bertanya-tanya apakah itu pensil ajaib atau hanya rencana mama agar Sanaf lebih giat belajar. “Mama gak bohong, terimalah!” akhirnya Sanaf menerimanya setelah mendengar pernyataan mama.

Sejak saat itu, Sanaf belajar bersama pensil itu untuk membuktikan apakah pensil itu ajaib. Dugaannya benar, selama mengikuti pelajaran, nilai Sanaf meningkat dan semakin memuaskan. Ia mendapat nilai bagus bahkan pernah tertinggi di kelas. Suatu hari, seseorang mendatangi Sanaf dan bertanya mengenai dirinya yang semakin hari mendapat nilai bagus. “Zimal, aku belajar dengan giat, bukan karena suatu hal apapun!” bohong Sanaf. “Aku gak percaya dan.. apa karena pensil itu kamu menjadi pintar?” Zimal, teman sekelas Sanaf mulai mecurigainya. Sanaf yang tenang menghadapi Zimal tiba-tiba tegang. “Serahkan pensil itu!” pinta Zimal sambil merebut pensil pemberian mama Sanaf. “Gak, ini milikku. Berani sekali kau merebutnya!” terjadilah perebutan pensil antara Sanaf melawan Zimal membuat teman kelas sekitarnya melihat ke arah dua rival tersebut. “Cukup. Aku akan membuktikan bahwa pensil ini ajaib. Kamu selalu memakai pensil ini dan tak pernah mendapat nilai jelek sejak memakai pensil ini. Lihat saja, kamu akan mendapat nilai jelek kembali setelah pensil ini ada di tanganku!” Zimal pergi meninggalkan tatapan liciknya. “Zimal!” Sanaf berteriak dan bersedih sepanjang pelajaran di sekolah.

Bel pulang berbunyi, Sanaf mempercepat langkahnya menuju rumah. Ia langsung memberitahu mama bahwa pensil kebahagiaannya diambil oleh Zimal, teman kelasnya. Mendengar itu, mama tersenyum membuat Sanaf heran. “Mengapa harus bergantung pada pensil itu? Tanpa pensil tersebut, kamu bisa dapat nilai bagus!” ucap mama. “Bagaimana caranya?” , “Kamu harus belajar dengan giat. Berubahlah menjadi lebih baik. Kalau kamu berubah menjadi lebih baik, maka masa depanmu juga akan baik!” jawab mama. Sanaf terdiam mendengar jawaban mama.

“Jadi, itu hanya pensil biasa? Keraguanku selama ini benar. Aku akan berusaha menjadi lebih baik. Aku gak butuh barang apapun untuk menjadi hebat karena hebat itu berasal dari diri sendiri. Maaf kalau Sanaf selama ini malas. Terimakasih mama!” Sanaf memeluk mama tercinta disambut mama yang memeluk dengan erat. Batinnya berkata,”Anakku berubah!”.

Hari ke hari, Sanaf semakin giat belajar menggapai mimpinya. Ia tidak dikenal pemalas, namun dikenal murid terpintar di kelas. “Sanaf, kau..”, tiba-tiba Zimal menghampiri Sanaf. Sanaf hanya menaikkan sebelah alisnya. “Kau.. mengapa bisa? Mengapa nilaimu meningkat tanpa pensil di tangan ini? Aku yang mencoba pensil ini bahkan tak mendapat hasil apapun. Apakah kamu mempunyai kekuatan ajaib? Apa kau curang? Atau..”, “Cukup. Jangan menuduhku seperti itu!” Sanaf mengambil pensil di tangan Zimal lalu membuangnya ke tempat sampah. “Kamu gak harus tergantung dengan pensil itu. Itu hanya pensil biasa!” mendengar itu, Zimal terkejut. “Pensil itu pemberian mamaku. Beliau berbohong bahwa pensil itu ajaib yang akan membantu mendapatkan nilai bagus baik tugas maupun latihan asalkan harus belajar yang giat. Jika tidak, pensil itu tak akan membantu. Tapi semua itu hanya kebohongan. Mama ingin agar aku belajar giat dengan cara seperti itu!” Sanaf menjelaskan tentang pensil tersebut pada Zimal. Suasana menjadi hening.

“Mengapa kita mudah percaya dengan hal seperti itu? Semua orang pasti tahu bahwa untuk meraih sukses harus berdoa dan berusaha. Bukan mempercayai barang seperti itu. Maafkan aku Sanaf, karena pensil tersebut, kita bagaikan musuh!” Zimal mengambil kesimpulan lalu meminta maaf pada Sanaf. “Aku juga minta maaf!” akhirnya, mereka saling bermaafan. Dalam hati Sanaf, ia bersyukur karena ia tidak menjadi pemalas karena mama dan sebuah pensil.


FABEL: SIAPA PALING HEBAT AYAM, GAJAH, HARIMAU DAN TIKUS?

 

Dalam sebuah kapal ada 4 ekor hewan yang menemani seorang nahkoda. Hewan itu ialah ayam, gajah, harimau dan tikus. Suatu hari keempat hewan itu berkumpul dan menceritakan kehebatan masing-masing.
Kata Ayam : "Aku selalu memberi telur kepada nahkoda kita. Berkat aku, dia dapat makan enak dan bergizi."
Gajahpun tak mau kalah "Aku kuat, aku selalu membantu nahkoda kita untuk mengangkat barang-barang berat."
Harimau menimbrung "Kalau aku terkenal sakti dan selalu dapat memenangkan setiap pertempuran, aku selalu melindungi nahkoda kita dari serangan bajak laut dan orang-orang jahat".
Hanya tikus yang terdiam. Ketiga hewan lainnya memandang dia katanya : "Tikus apa fungsimu di sini, hanya engkau yang tak mempunyai fungsi di sini.hahahaha". Mereka mengejek tikus itu.
Suatu hari kapal itu terantuk pada tonjolan karang dan bocor. Keempat hewan itu dan nahkodanya panik. Mereka tidak tahu apa yang akan mereka lakukan karena lokasi kebocoran berada di tempat tersembunyi sehingga tidk bisa ditemukan. Tikus berpikir sejenak kemudian berkata : "Teman-teman mungkin inilah saatnya aku dapat berguna bagi kalian." Lalu tikus itu mulai bergerak. Dengan tubuh mungil dan lonjong itu dia begitu mudah masuk ke sela-sela kayu untuk menemukan sumber kebocoran itu. Akhirnya kapal itu dapat diselamatkan.
Nahkoda itu berkata : "Untung ada kamu tikus, kalau tidak kita bisa celaka". Ketiga temannya pun tertunduk malu karena mereka telah mengejek tikus itu.
Demikianlah TUHAN memberikan kepada kita semua talenta masing masing. Tidak ada orang bodoh yang ada hanya orang yang tidak sadar akan bakat yang diberikan TUHAN kepada kita. Janganlah mengejek dan saling merendahkan tetapi hendaklah saling melengkapi untuk hidup yang lebih baik.

 

DONGENG LUCU & DRAMATIS: KUCING DAN TIKUS YANG SALING MEMBANTU

 

Anak-anak... pernahkah kalian melihat kucing dan tikus berteman? Hmm... Aneh ya? Tapi dengarkan cerita ini dulu!

Di sebuah gudang tua—tempat penuh tumpukan karung dan bau keju—hiduplah dua makhluk kecil: Miu si kucing yang suka tidur siang, dan Tiko si tikus yang suka nyemil keju diam-diam. Biasanya, kucing ngejar tikus. Tapi Miu dan Tiko? Mereka malah main petak umpet tiap sore!

Suatu pagi... "Meoooong! Tolonggg!" suara Miu terdengar panik. Rupanya, dia terjebak di dalam kotak jebakan!

Tiko mendekat pelan-pelan... "Miu? Kamu kenapa?"

"Aku... aku cuma mau ambil makanan manusia. Eh, malah kejebak!"

Tiko, walau kecil, punya gigi yang tajam! Krak... krak... Dia menggigit tali jebakan. Dan... klik! Miu BEBAS!

Hari berganti. Kini giliran Tiko dalam bahaya. Seekor ular panjang dan licin masuk gudang! "Ssssttt... tikus kecil, aku lapar..."

BRAK! Miu meloncat seperti ninja! Dengan cakar dan suara garangnya, "MIAAAAW!!!" ia mengusir ular itu pergi!

Tiko pun selamat.

Dan mereka pun berpelukan... Eh, maksudnya, pelukan versi kucing dan tikus, ya: saling kedip dan makan keju bersama.

Pesan cerita ini? Bahkan musuh alami bisa jadi sahabat, asal saling menolong dan percaya!

CERITA ANAK FABEL KUCING DAN TIKUS YANG SALING MEMBANTU

 

Di sebuah desa yang damai, hiduplah seekor kucing bernama Miu dan tikus kecil bernama Tiko. Mereka tinggal di gudang yang sama, namun tidak seperti kucing dan tikus pada umumnya, Miu dan Tiko bersahabat.

Suatu hari, Miu terjebak di dalam kotak perangkap yang dipasang oleh pemilik gudang. Ia mengeong keras meminta pertolongan. Tiko yang mendengar suara sahabatnya segera datang. Dengan gigi kecilnya, Tiko menggerogoti tali pengikat kotak hingga Miu bisa keluar.

"Terima kasih, Tiko. Kau telah menyelamatkanku," kata Miu dengan haru.

Beberapa minggu kemudian, giliran Tiko yang dalam bahaya. Seekor ular masuk ke gudang dan hendak memangsa Tiko. Melihat itu, Miu melompat dengan cepat dan mengusir ular itu dengan cakarnya yang tajam.

Tiko pun selamat. Sejak saat itu, persahabatan mereka semakin erat. Mereka menyadari bahwa perbedaan bukanlah penghalang untuk saling membantu.

Pesan moral dari cerita kucing dan tikus ini adalah: Persahabatan sejati tumbuh dari saling tolong-menolong, meski berasal dari dunia yang berbeda.

NOVEL "PEWARISAN TERAKHIR": Masa Depan yang Baru Dimulai CHAPTER 10)

 

Hari itu, matahari terbenam dengan indah, menciptakan semburat warna oranye yang menyelimuti seluruh Ciputat. Warung Pak Darto, yang selama ini menjadi saksi bisu perjalanan hidup Reyhan, kini terasa berbeda. Semua yang sebelumnya tampak seperti ujian—seperti cobaan berat yang harus dihadapi—sekarang berubah menjadi kenangan manis yang membentuk dirinya.

Reyhan melangkah keluar dari warung kecil itu, matanya memandang jauh ke depan. Langkahnya mantap, tanpa keraguan. Ia tahu, dunia menantinya di luar sana, dan kali ini, ia siap untuk menghadapinya tanpa ada yang menahan.

Pak Darto, atau lebih tepatnya Armand Prasetya, berdiri di pintu warung, mengamati anaknya yang kini terlihat berbeda. Tidak ada lagi keraguan dalam diri Reyhan. Tidak ada lagi kecemasan tentang apakah ia melakukan keputusan yang benar. Reyhan telah memilih jalan yang sulit, namun itu adalah jalan yang benar menurutnya.

“Kamu sudah siap?” tanya Armand dengan suara berat.

Reyhan menatapnya dengan senyum lebar. “Ya, Pak. Saya siap.”

Armand mengangguk, matanya berbinar. “Aku bangga padamu, Rey. Lebih dari apa pun, kamu telah memilih jalanmu sendiri. Itu sudah lebih dari cukup.”

Reyhan menarik napas panjang. “Mungkin saya bukan anak yang sempurna. Saya tahu saya nggak selalu menjadi yang terbaik untuk Papa. Tapi saya janji... saya akan berusaha untuk jadi lebih baik.”

Armand melangkah mendekat dan meletakkan tangan di bahu Reyhan. “Kamu sudah lebih dari cukup, Rey. Kalau kamu memilih untuk hidup dengan integritas, keberanian, dan kerja keras—itu sudah lebih dari cukup untukku. Tidak ada warisan harta yang lebih berharga daripada itu.”

Reyhan menatap wajah ayahnya. Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia merasa benar-benar terhubung dengan sosok ini. Sosok yang selama ini ia anggap sebagai seseorang yang jauh, penuh rahasia, dan bahkan terkadang menakutkan. Namun kini, ia menyadari bahwa ayahnya hanyalah seorang manusia yang ingin melihat anaknya berdiri dengan kaki sendiri.

“Apa sekarang semuanya selesai, Pak?” tanya Reyhan, suara penuh tanya.

“Tidak, Rey,” jawab Armand dengan senyuman. “Ini baru awal. Masa depanmu masih panjang. Banyak hal yang akan datang, banyak tantangan, dan banyak pilihan. Tapi ingat, apapun yang terjadi, kamu sudah memulai dengan langkah yang tepat.”

Reyhan mengangguk, kemudian berpaling untuk terakhir kali ke warung itu. Tempat yang selama ini menjadi saksi perubahannya. Tempat yang mengajarinya banyak hal tentang hidup, tentang nilai-nilai yang lebih penting daripada uang.

Di luar sana, dunia menunggu. Mungkin itu tidak akan mudah, tapi Reyhan tahu satu hal—ia sudah menemukan tujuan hidup yang sejati. Bukan lagi tentang menjadi pewaris kekayaan keluarga. Tapi tentang menjadi dirinya sendiri.

Dengan langkah mantap, Reyhan melangkah pergi, menuju masa depan yang baru. Tak ada lagi bayang-bayang masa lalu yang mengikutinya. Ia tidak lagi merasa takut akan kegagalan, karena ia sudah belajar dari setiap langkah yang ia ambil.

Armand memandang anaknya dengan bangga, lalu menatap langit yang kini semakin gelap. Suasana hati Armand begitu tenang, penuh kedamaian. Ia tahu, meskipun ia tidak lagi bisa mengatur langkah Reyhan, ia telah memberikan sesuatu yang jauh lebih berharga: kebebasan untuk memilih dan membangun hidupnya sendiri.

Dan dengan itu, perjalanan panjang mereka sebagai ayah dan anak telah sampai pada titik ini—titik di mana mereka akhirnya memahami arti sejati dari keluarga dan warisan.

Akhir

NOVEL "PEWARISAN TERAKHIR": Warisan Sebenarnya (CHAPTER 9)

 


Pagi itu, warung Pak Darto terasa lebih sepi dari biasanya. Reyhan duduk di kursi kayu yang biasa ia gunakan untuk menunggu pelanggan, masih memegang surat wasiat yang kini terasa lebih berat daripada sebelumnya. Setiap kata dalam surat itu kini terasa seperti ujian yang lebih besar, bukan hanya untuk dirinya, tapi untuk seluruh hidupnya.

Armand, yang selama ini menyamar sebagai Pak Darto, duduk di depannya dengan wajah yang tenang. Tidak ada lagi topeng atau kedok. Di hadapan Reyhan, sekarang hanya ada seorang ayah yang sangat ingin anaknya melihat dunia dengan cara yang berbeda. Cara yang lebih bijaksana, penuh perjuangan, dan penuh harga diri.

Reyhan menghembuskan napas panjang. “Jadi... selama ini Papa menguji saya? Membiarkan saya hidup dengan cara yang berbeda?”

Armand mengangguk. “Iya. Bukan hanya kamu yang diuji, Rey. Aku juga. Mungkin ini cara kita belajar untuk benar-benar mengenal satu sama lain.”

“Apa maksudnya? Apakah semua ini... hanya untuk tahu apakah saya bisa berdirisendiri?” Reyhan bertanya, masih merasa bingung.

“Tidak,” jawab Armand tegas. “Ini tentang membuktikan bahwa kamu bisa memilih, Reyhan. Hidup ini bukan hanya tentang memilih apa yang enak, tapi juga apa yang benar. Dan kamu sudah memilih dengan benar.”

Reyhan menggenggam surat wasiat itu erat-erat. Ada dua pilihan di dalamnya, dua jalan yang bisa diambil. Salah satunya adalah jalan yang biasa ia kenal—warisan kekayaan yang bisa membawanya kembali ke dunia yang selama ini ia tinggalkan. Namun, ada pilihan kedua yang lebih menantang: sebuah tantangan untuk membangun sesuatu dari nol, tanpa dukungan finansial dari keluarganya.

“Aku bisa memilih hidup seperti dulu, kan? Punya semuanya—rumah besar, mobil, kemewahan. Tapi itu berarti hidup dengan nama Prasetya, hidup dengan bayang-bayang ayahmu, bukan hidupku sendiri,” kata Reyhan pelan.

Armand mengangguk. “Betul. Dan apa yang kamu pilih sekarang... itu yang menentukan siapa kamu. Itu yang akan menjadi warisan sejati.”

Reyhan diam, matanya menerawang jauh. Ia tak pernah membayangkan hidupnya akan sampai di titik ini—di mana ia harus memilih antara kenyamanan dunia lama yang penuh kemewahan dan tantangan dunia baru yang tak pasti. Di satu sisi, ada rasa takut gagal yang begitu besar. Namun, di sisi lain, ada rasa kebebasan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.

“Kalau aku memilih untuk tidak menerima warisan,” Reyhan mulai, “apa yang akan terjadi dengan Papa?”

Armand tersenyum kecil. “Aku tidak akan menghalangi pilihanmu. Tetapi ingat, Reyhan... uang tidak menjamin kebahagiaan. Kadang yang lebih penting adalah rasa puas dengan usaha sendiri, dan itu yang akan memberikan kebahagiaan sejati.”

Reyhan menatap surat itu sekali lagi, merasa perasaan itu mengalir dalam dirinya. Keputusan yang ia buat tidak hanya akan mengubah hidupnya, tapi juga hubungan mereka sebagai ayah dan anak. Ia menyadari, ini bukan hanya tentang warisan harta—ini adalah tentang bagaimana ia ingin dikenang.

Akhirnya, Reyhan menaruh surat itu di meja dan berkata dengan tegas, “Saya pilih jalan yang saya buat sendiri. Bukan jalan yang sudah dibuat untuk saya.”

Armand memandang anaknya, wajahnya penuh kebanggaan. “Itulah yang aku harapkan.”

Reyhan berdiri, dan kali ini, ia tidak lagi merasa cemas. Ada sesuatu yang baru tumbuh dalam dirinya—kepercayaan diri. Keputusan itu mungkin berat, tapi ia tahu satu hal: ia tidak akan pernah lagi memilih jalan mudah. Warisan terbesar yang bisa ia terima bukanlah uang atau harta, tetapi kebebasan untuk memilih jalan hidupnya sendiri.

Dan di hari itu, Reyhan tahu, ia akhirnya siap untuk benar-benar hidup.

Lanjut ke Bab 10: Masa Depan yang Baru Dimulai

NOVEL "PEWARISAN TERAKHIR": Kebenaran di Balik Nama “Pak Darto” (CHAPTER 8)

 


Langit sore memerah, seolah ikut menjadi saksi bahwa sesuatu besar akan terjadi di warung kecil itu. Reyhan duduk termenung di bangku kayu, map berisi surat wasiat masih di tangannya. Kata-kata kurir hukum itu terngiang di kepala—bahwa warisan bukan hanya tentang angka, tapi juga tentang layak atau tidaknya seseorang menerima tanggung jawab.

Pak Darto sedang mengelap meja ketika Reyhan akhirnya bertanya, “Pak, boleh saya tanya sesuatu?”

Armand menoleh. “Apa itu?”

“Kenapa Bapak sering bilang hal-hal bijak tentang hidup... seolah Bapak pernah ada di tempat tinggi?”

Pak Darto tertawa kecil, tapi tak menjawab.

Reyhan melanjutkan, “Dulu, Papa saya sering bilang: ‘Orang yang besar bukan yang bisa beli apapun, tapi yang bisa kehilangan segalanya dan tetap berdiri.’ Kata-kata Bapak... mirip.”

Pak Darto terdiam. Tangannya berhenti bergerak. Diam itu terlalu panjang, terlalu penuh makna.

“Pak...” Reyhan menatapnya, suaranya bergetar, “Siapa Bapak sebenarnya?”

Armand menarik kursi dan duduk di depannya. Wajah lelahnya tak bisa lagi menyembunyikan apa pun. Ia membuka topinya perlahan, menyapu rambutnya ke belakang, dan menatap anaknya dengan mata yang kini tak lagi bisa bersembunyi.

“Aku ayahmu, Reyhan.”

Sunyi.

Angin sore berdesir perlahan, seolah berhenti sejenak untuk memberi ruang pada dua hati yang saling terdiam.

“Apa?” bisik Reyhan, seperti tak percaya telinganya sendiri.

“Namaku bukan Darto. Aku... Armand Prasetya.”

Reyhan berdiri mendadak, bangkunya nyaris terjatuh. “Kamu bohong!”

“Aku gak bohong. Aku menyamar, iya. Tapi bukan untuk mempermainkanmu. Aku ingin tahu siapa kamu—bukan saat kamu punya segalanya, tapi saat kamu gak punya apa-apa.”

“Maksud Papa... selama ini Papa ngelihat semua? Dari awal aku kerja di sini?”

Armand mengangguk pelan.

“Papa nyuruh orang suruh aku hidup susah, buat nguji aku?!”

“Bukan suruh kamu susah,” jawab Armand dengan tenang. “Aku cuma ambil semua yang mudah, supaya kamu tahu rasanya bangkit. Aku ingin melihat... kamu bisa berdiri, bukan hanya menggenggam warisan.”

Reyhan mundur beberapa langkah, matanya berkaca-kaca.

“Jadi... semua ini bohong? Warung ini? Nama Bapak? Semuanya setting-an?”

“Tidak semuanya. Keringatmu... usahamu... keputusanmu untuk melawan Toni... semua itu nyata, Rey.”

Reyhan duduk kembali, pelan, seperti baru saja jatuh dari langit. “Lalu... surat wasiat itu juga... setting-an?”

“Tidak. Itu nyata. Tapi surat itu hanya berlaku... kalau aku yakin kamu layak. Dan sekarang... aku mulai percaya, kamu memang pantas.”

Sunyi kembali turun, tapi kali ini bukan karena amarah. Melainkan karena keduanya sedang menata kembali puing-puing hubungan yang selama ini hanya dibangun di atas warisan—bukan pengertian.

Lanjut ke Bab 9: Warisan Sebenarnya

NOVEL "PEWARISAN TERAKHIR": Surat Wasiat yang Mengguncang (CHAPTER 7)

 

Mobil hitam itu berhenti perlahan, mengusir debu di sekitar warung kecil itu. Reyhan menatapnya dengan alis terangkat, sementara Pak Darto berdiri kaku. Ia mengenal mobil itu. Ia mengenal supir itu. Dan yang paling penting—ia tahu apa isi koper hitam yang dibawa pria berkacamata gelap itu.

“Permisi,” kata pria itu dingin, membuka kaca mata dan memandang sekeliling. “Saya mencari Reyhan Prasetya.”

Reyhan melangkah maju, kening berkerut. “Saya. Ada apa, Pak?”

Pria itu membuka koper dan mengeluarkan sebuah map cokelat, tersampul rapi dengan logo firma hukum yang sangat familiar: Lawrence & Siregar—firma hukum yang menangani semua urusan keluarga Prasetya.

“Saya ditugaskan oleh Tuan Armand Prasetya,” ucap pria itu, tak menyadari bahwa sang tuan berdiri hanya dua meter di belakangnya, menyamar sebagai Pak Darto.

Reyhan menegang. “Papa? Dia di Swiss, kan? Masih dalam perawatan...”

Pria itu mengangguk pelan. “Ya. Tapi sebelum keberangkatannya, beliau menandatangani revisi surat wasiat. Dan sesuai jadwal, saya diinstruksikan untuk menyerahkannya kepada Anda... tepat hari ini.”

Reyhan menerima map itu dengan tangan gemetar. Pak Darto, di belakangnya, menahan napas.

“Di dalamnya ada dua versi surat wasiat,” lanjut pria itu. “Satu lama, satu baru. Hanya satu yang berlaku nanti—bergantung pada penilaian kami atas perilaku Anda selama dua bulan terakhir.”

“Maksudnya?” tanya Reyhan heran.

“Surat itu adalah ujian terakhir. Bukan hanya untuk Anda... tapi untuk kami semua yang percaya, bahwa warisan sejati bukan angka di rekening. Tapi karakter.”

Pria itu menutup koper. “Maaf saya harus langsung pergi. Saya hanya kurir. Tapi saya harap Anda siap dengan segala kemungkinan.”

Ia naik kembali ke mobil, dan dalam sekejap, mobil itu melaju pergi, meninggalkan keheningan aneh di udara.

Reyhan membuka map itu perlahan. Di halaman pertama, tertulis:

Surat Wasiat Alternatif: Hanya Berlaku Jika Pewaris Dinilai Layak Berdasarkan Perilaku dan Integritas

Ia menoleh pada Pak Darto. “Pak... kenapa Papa bikin surat kayak begini? Dia pikir saya ini apa, binatang percobaan?”

Pak Darto tak langsung menjawab. Matanya hanya menatap map di tangan Reyhan, seakan itu adalah cermin dari pertaruhan hidup yang ia buat sendiri.

“Kadang, orang tua gak butuh anak yang sempurna,” ucap Pak Darto pelan. “Mereka cuma mau tahu... apa anaknya siap untuk berdiri sendiri saat dunia tak memberinyaapa-apa.”

Reyhan menggenggam map itu kuat-kuat. “Kalau ini ujian... maka saya akan lulus. Tapi bukan buat warisan. Saya lulus karena saya harus bisa jadi manusia yang utuh.”

Dan diam-diam, Pak Darto menghapus air mata kecil di sudut matanya. Anaknya sudah berubah... dan waktunya untuk membuka semua kebenaran semakin dekat.

Lanjut ke Bab 8: Kebenaran di Balik Nama “Pak Darto”