NOVEL "PEWARISAN TERAKHIR": Surat Wasiat yang Mengguncang (CHAPTER 7)

 

Mobil hitam itu berhenti perlahan, mengusir debu di sekitar warung kecil itu. Reyhan menatapnya dengan alis terangkat, sementara Pak Darto berdiri kaku. Ia mengenal mobil itu. Ia mengenal supir itu. Dan yang paling penting—ia tahu apa isi koper hitam yang dibawa pria berkacamata gelap itu.

“Permisi,” kata pria itu dingin, membuka kaca mata dan memandang sekeliling. “Saya mencari Reyhan Prasetya.”

Reyhan melangkah maju, kening berkerut. “Saya. Ada apa, Pak?”

Pria itu membuka koper dan mengeluarkan sebuah map cokelat, tersampul rapi dengan logo firma hukum yang sangat familiar: Lawrence & Siregar—firma hukum yang menangani semua urusan keluarga Prasetya.

“Saya ditugaskan oleh Tuan Armand Prasetya,” ucap pria itu, tak menyadari bahwa sang tuan berdiri hanya dua meter di belakangnya, menyamar sebagai Pak Darto.

Reyhan menegang. “Papa? Dia di Swiss, kan? Masih dalam perawatan...”

Pria itu mengangguk pelan. “Ya. Tapi sebelum keberangkatannya, beliau menandatangani revisi surat wasiat. Dan sesuai jadwal, saya diinstruksikan untuk menyerahkannya kepada Anda... tepat hari ini.”

Reyhan menerima map itu dengan tangan gemetar. Pak Darto, di belakangnya, menahan napas.

“Di dalamnya ada dua versi surat wasiat,” lanjut pria itu. “Satu lama, satu baru. Hanya satu yang berlaku nanti—bergantung pada penilaian kami atas perilaku Anda selama dua bulan terakhir.”

“Maksudnya?” tanya Reyhan heran.

“Surat itu adalah ujian terakhir. Bukan hanya untuk Anda... tapi untuk kami semua yang percaya, bahwa warisan sejati bukan angka di rekening. Tapi karakter.”

Pria itu menutup koper. “Maaf saya harus langsung pergi. Saya hanya kurir. Tapi saya harap Anda siap dengan segala kemungkinan.”

Ia naik kembali ke mobil, dan dalam sekejap, mobil itu melaju pergi, meninggalkan keheningan aneh di udara.

Reyhan membuka map itu perlahan. Di halaman pertama, tertulis:

Surat Wasiat Alternatif: Hanya Berlaku Jika Pewaris Dinilai Layak Berdasarkan Perilaku dan Integritas

Ia menoleh pada Pak Darto. “Pak... kenapa Papa bikin surat kayak begini? Dia pikir saya ini apa, binatang percobaan?”

Pak Darto tak langsung menjawab. Matanya hanya menatap map di tangan Reyhan, seakan itu adalah cermin dari pertaruhan hidup yang ia buat sendiri.

“Kadang, orang tua gak butuh anak yang sempurna,” ucap Pak Darto pelan. “Mereka cuma mau tahu... apa anaknya siap untuk berdiri sendiri saat dunia tak memberinyaapa-apa.”

Reyhan menggenggam map itu kuat-kuat. “Kalau ini ujian... maka saya akan lulus. Tapi bukan buat warisan. Saya lulus karena saya harus bisa jadi manusia yang utuh.”

Dan diam-diam, Pak Darto menghapus air mata kecil di sudut matanya. Anaknya sudah berubah... dan waktunya untuk membuka semua kebenaran semakin dekat.

Lanjut ke Bab 8: Kebenaran di Balik Nama “Pak Darto”