Mobil hitam itu berhenti perlahan, mengusir debu di sekitar warung kecil itu. Reyhan menatapnya dengan alis terangkat, sementara Pak Darto berdiri kaku. Ia mengenal mobil itu. Ia mengenal supir itu. Dan yang paling penting—ia tahu apa isi koper hitam yang dibawa pria berkacamata gelap itu.
“Permisi,”
kata pria itu dingin, membuka kaca mata dan memandang sekeliling. “Saya mencari
Reyhan Prasetya.”
Reyhan
melangkah maju, kening berkerut. “Saya. Ada apa, Pak?”
Pria
itu membuka koper dan mengeluarkan sebuah map cokelat, tersampul rapi dengan
logo firma hukum yang sangat familiar: Lawrence & Siregar—firma
hukum yang menangani semua urusan keluarga Prasetya.
“Saya
ditugaskan oleh Tuan Armand Prasetya,” ucap pria itu, tak menyadari bahwa sang
tuan berdiri hanya dua meter di belakangnya, menyamar sebagai Pak Darto.
Reyhan
menegang. “Papa? Dia di Swiss, kan? Masih dalam perawatan...”
Pria
itu mengangguk pelan. “Ya. Tapi sebelum keberangkatannya, beliau menandatangani
revisi surat wasiat. Dan sesuai jadwal, saya diinstruksikan untuk
menyerahkannya kepada Anda... tepat hari ini.”
Reyhan
menerima map itu dengan tangan gemetar. Pak Darto, di belakangnya, menahan
napas.
“Di
dalamnya ada dua versi surat wasiat,” lanjut pria itu. “Satu lama, satu baru.
Hanya satu yang berlaku nanti—bergantung pada penilaian kami atas perilaku Anda
selama dua bulan terakhir.”
“Maksudnya?”
tanya Reyhan heran.
“Surat
itu adalah ujian terakhir. Bukan hanya untuk Anda... tapi untuk kami semua yang
percaya, bahwa warisan sejati bukan angka di rekening. Tapi karakter.”
Pria
itu menutup koper. “Maaf saya harus langsung pergi. Saya hanya kurir. Tapi saya
harap Anda siap dengan segala kemungkinan.”
Ia
naik kembali ke mobil, dan dalam sekejap, mobil itu melaju pergi, meninggalkan
keheningan aneh di udara.
Reyhan
membuka map itu perlahan. Di halaman pertama, tertulis:
Surat
Wasiat Alternatif: Hanya Berlaku Jika Pewaris Dinilai Layak Berdasarkan
Perilaku dan Integritas
Ia
menoleh pada Pak Darto. “Pak... kenapa Papa bikin surat kayak begini? Dia pikir
saya ini apa, binatang percobaan?”
Pak
Darto tak langsung menjawab. Matanya hanya menatap map di tangan Reyhan, seakan
itu adalah cermin dari pertaruhan hidup yang ia buat sendiri.
“Kadang,
orang tua gak butuh anak yang sempurna,” ucap Pak Darto pelan. “Mereka cuma mau
tahu... apa anaknya siap untuk berdiri sendiri saat dunia tak memberinyaapa-apa.”
Reyhan
menggenggam map itu kuat-kuat. “Kalau ini ujian... maka saya akan lulus. Tapi
bukan buat warisan. Saya lulus karena saya harus bisa jadi manusia yang utuh.”
Dan
diam-diam, Pak Darto menghapus air mata kecil di sudut matanya. Anaknya sudah
berubah... dan waktunya untuk membuka semua kebenaran semakin dekat.
Lanjut
ke Bab 8: Kebenaran di Balik Nama “Pak Darto”