NOVEL "PEWARISAN TERAKHIR": Warisan Sebenarnya (CHAPTER 9)

 


Pagi itu, warung Pak Darto terasa lebih sepi dari biasanya. Reyhan duduk di kursi kayu yang biasa ia gunakan untuk menunggu pelanggan, masih memegang surat wasiat yang kini terasa lebih berat daripada sebelumnya. Setiap kata dalam surat itu kini terasa seperti ujian yang lebih besar, bukan hanya untuk dirinya, tapi untuk seluruh hidupnya.

Armand, yang selama ini menyamar sebagai Pak Darto, duduk di depannya dengan wajah yang tenang. Tidak ada lagi topeng atau kedok. Di hadapan Reyhan, sekarang hanya ada seorang ayah yang sangat ingin anaknya melihat dunia dengan cara yang berbeda. Cara yang lebih bijaksana, penuh perjuangan, dan penuh harga diri.

Reyhan menghembuskan napas panjang. “Jadi... selama ini Papa menguji saya? Membiarkan saya hidup dengan cara yang berbeda?”

Armand mengangguk. “Iya. Bukan hanya kamu yang diuji, Rey. Aku juga. Mungkin ini cara kita belajar untuk benar-benar mengenal satu sama lain.”

“Apa maksudnya? Apakah semua ini... hanya untuk tahu apakah saya bisa berdirisendiri?” Reyhan bertanya, masih merasa bingung.

“Tidak,” jawab Armand tegas. “Ini tentang membuktikan bahwa kamu bisa memilih, Reyhan. Hidup ini bukan hanya tentang memilih apa yang enak, tapi juga apa yang benar. Dan kamu sudah memilih dengan benar.”

Reyhan menggenggam surat wasiat itu erat-erat. Ada dua pilihan di dalamnya, dua jalan yang bisa diambil. Salah satunya adalah jalan yang biasa ia kenal—warisan kekayaan yang bisa membawanya kembali ke dunia yang selama ini ia tinggalkan. Namun, ada pilihan kedua yang lebih menantang: sebuah tantangan untuk membangun sesuatu dari nol, tanpa dukungan finansial dari keluarganya.

“Aku bisa memilih hidup seperti dulu, kan? Punya semuanya—rumah besar, mobil, kemewahan. Tapi itu berarti hidup dengan nama Prasetya, hidup dengan bayang-bayang ayahmu, bukan hidupku sendiri,” kata Reyhan pelan.

Armand mengangguk. “Betul. Dan apa yang kamu pilih sekarang... itu yang menentukan siapa kamu. Itu yang akan menjadi warisan sejati.”

Reyhan diam, matanya menerawang jauh. Ia tak pernah membayangkan hidupnya akan sampai di titik ini—di mana ia harus memilih antara kenyamanan dunia lama yang penuh kemewahan dan tantangan dunia baru yang tak pasti. Di satu sisi, ada rasa takut gagal yang begitu besar. Namun, di sisi lain, ada rasa kebebasan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.

“Kalau aku memilih untuk tidak menerima warisan,” Reyhan mulai, “apa yang akan terjadi dengan Papa?”

Armand tersenyum kecil. “Aku tidak akan menghalangi pilihanmu. Tetapi ingat, Reyhan... uang tidak menjamin kebahagiaan. Kadang yang lebih penting adalah rasa puas dengan usaha sendiri, dan itu yang akan memberikan kebahagiaan sejati.”

Reyhan menatap surat itu sekali lagi, merasa perasaan itu mengalir dalam dirinya. Keputusan yang ia buat tidak hanya akan mengubah hidupnya, tapi juga hubungan mereka sebagai ayah dan anak. Ia menyadari, ini bukan hanya tentang warisan harta—ini adalah tentang bagaimana ia ingin dikenang.

Akhirnya, Reyhan menaruh surat itu di meja dan berkata dengan tegas, “Saya pilih jalan yang saya buat sendiri. Bukan jalan yang sudah dibuat untuk saya.”

Armand memandang anaknya, wajahnya penuh kebanggaan. “Itulah yang aku harapkan.”

Reyhan berdiri, dan kali ini, ia tidak lagi merasa cemas. Ada sesuatu yang baru tumbuh dalam dirinya—kepercayaan diri. Keputusan itu mungkin berat, tapi ia tahu satu hal: ia tidak akan pernah lagi memilih jalan mudah. Warisan terbesar yang bisa ia terima bukanlah uang atau harta, tetapi kebebasan untuk memilih jalan hidupnya sendiri.

Dan di hari itu, Reyhan tahu, ia akhirnya siap untuk benar-benar hidup.

Lanjut ke Bab 10: Masa Depan yang Baru Dimulai