Pagi
itu, warung Pak Darto terasa lebih sepi dari biasanya. Reyhan duduk di kursi
kayu yang biasa ia gunakan untuk menunggu pelanggan, masih memegang surat
wasiat yang kini terasa lebih berat daripada sebelumnya. Setiap kata dalam
surat itu kini terasa seperti ujian yang lebih besar, bukan hanya untuk
dirinya, tapi untuk seluruh hidupnya.
Armand,
yang selama ini menyamar sebagai Pak Darto, duduk di depannya dengan wajah yang
tenang. Tidak ada lagi topeng atau kedok. Di hadapan Reyhan, sekarang hanya ada
seorang ayah yang sangat ingin anaknya melihat dunia dengan cara yang berbeda.
Cara yang lebih bijaksana, penuh perjuangan, dan penuh harga diri.
Reyhan
menghembuskan napas panjang. “Jadi... selama ini Papa menguji saya? Membiarkan
saya hidup dengan cara yang berbeda?”
Armand
mengangguk. “Iya. Bukan hanya kamu yang diuji, Rey. Aku juga. Mungkin ini cara
kita belajar untuk benar-benar mengenal satu sama lain.”
“Apa
maksudnya? Apakah semua ini... hanya untuk tahu apakah saya bisa berdirisendiri?” Reyhan bertanya, masih merasa bingung.
“Tidak,”
jawab Armand tegas. “Ini tentang membuktikan bahwa kamu bisa memilih, Reyhan.
Hidup ini bukan hanya tentang memilih apa yang enak, tapi juga apa yang benar.
Dan kamu sudah memilih dengan benar.”
Reyhan
menggenggam surat wasiat itu erat-erat. Ada dua pilihan di dalamnya, dua jalan
yang bisa diambil. Salah satunya adalah jalan yang biasa ia kenal—warisan
kekayaan yang bisa membawanya kembali ke dunia yang selama ini ia tinggalkan.
Namun, ada pilihan kedua yang lebih menantang: sebuah tantangan untuk membangun
sesuatu dari nol, tanpa dukungan finansial dari keluarganya.
“Aku
bisa memilih hidup seperti dulu, kan? Punya semuanya—rumah besar, mobil,
kemewahan. Tapi itu berarti hidup dengan nama Prasetya, hidup dengan
bayang-bayang ayahmu, bukan hidupku sendiri,” kata Reyhan pelan.
Armand
mengangguk. “Betul. Dan apa yang kamu pilih sekarang... itu yang menentukan
siapa kamu. Itu yang akan menjadi warisan sejati.”
Reyhan
diam, matanya menerawang jauh. Ia tak pernah membayangkan hidupnya akan sampai
di titik ini—di mana ia harus memilih antara kenyamanan dunia lama yang penuh
kemewahan dan tantangan dunia baru yang tak pasti. Di satu sisi, ada rasa takut
gagal yang begitu besar. Namun, di sisi lain, ada rasa kebebasan yang belum
pernah ia rasakan sebelumnya.
“Kalau
aku memilih untuk tidak menerima warisan,” Reyhan mulai, “apa yang akan terjadi
dengan Papa?”
Armand
tersenyum kecil. “Aku tidak akan menghalangi pilihanmu. Tetapi ingat, Reyhan...
uang tidak menjamin kebahagiaan. Kadang yang lebih penting adalah rasa puas
dengan usaha sendiri, dan itu yang akan memberikan kebahagiaan sejati.”
Reyhan
menatap surat itu sekali lagi, merasa perasaan itu mengalir dalam dirinya.
Keputusan yang ia buat tidak hanya akan mengubah hidupnya, tapi juga hubungan
mereka sebagai ayah dan anak. Ia menyadari, ini bukan hanya tentang warisan
harta—ini adalah tentang bagaimana ia ingin dikenang.
Akhirnya,
Reyhan menaruh surat itu di meja dan berkata dengan tegas, “Saya pilih jalan
yang saya buat sendiri. Bukan jalan yang sudah dibuat untuk saya.”
Armand
memandang anaknya, wajahnya penuh kebanggaan. “Itulah yang aku harapkan.”
Reyhan
berdiri, dan kali ini, ia tidak lagi merasa cemas. Ada sesuatu yang baru tumbuh
dalam dirinya—kepercayaan diri. Keputusan itu mungkin berat, tapi ia tahu satu
hal: ia tidak akan pernah lagi memilih jalan mudah. Warisan terbesar yang bisa
ia terima bukanlah uang atau harta, tetapi kebebasan untuk memilih jalan
hidupnya sendiri.
Dan
di hari itu, Reyhan tahu, ia akhirnya siap untuk benar-benar hidup.
Lanjut
ke Bab 10: Masa Depan yang Baru Dimulai