NOVEL "PEWARISAN TERAKHIR": Perlawanan Dimulai, Tanpa Nama Keluarga (CHAPTER 6)

 

Pagi itu, langit Ciputat mendung. Awan gelap menggantung di atas warung kecil yang tampak seperti biasa saja. Tapi di dalamnya, ada sebuah keputusan yang baru saja dilahirkan—diam-diam, tanpa teriakan, tapi penuh tekad.

Reyhan menggulung lengan bajunya dan menyelipkan selembar kertas ke saku belakang celana. Ia menatap cermin kecil di dapur, wajahnya keras, sorot matanya berbeda dari seminggu lalu. Ia tak lagi terlihat seperti anak orang kaya yang tersesat. Ia terlihat seperti orang yang siap memperjuangkan sesuatu... bahkan tanpa warisan sekalipun.

Toni datang tepat jam delapan pagi, seperti yang dijanjikannya. Ia duduk di bangku warung sambil menyulut rokok, memperhatikan Reyhan dari jauh dengan senyum licik.

“Jadi, lo udah pikirin, kan?” tanya Toni, sambil mengetuk-ngetuk meja.

Reyhan mengangguk. “Udah.”

“Bagus. Lo bawa duitnya?”

Reyhan duduk di depannya, lalu meletakkan selembar kertas di atas meja. “Gue gak kasih lo uang. Tapi gue kasih lo kerja.”

Toni mengernyit. “Hah?”

“Itu daftar tempat lo bisa kerja harian. Gue tanya ke beberapa pelanggan warung yang kerja bangunan. Ada yang butuh tenaga buat proyek rumah. Bayarannya cukup buat nutup utang lo, kalau lo serius.”

Toni tertawa mengejek. “Lo pikir gue mau kerja kayak lo? Nyuci piring, ngelap meja?”

Reyhan menatapnya tajam. “Kalau lo lebih milih nyebar aib gue buat dapet uang cepat, silakan. Tapi lo pikir gue takut? Kalau semua orang tahu gue kerja di sini, terus kenapa? Lo kira gue malu? Gue baru belajar jadi manusia, dan gue gak akan berhenti cuma karena ancaman murahan.”

Toni terdiam. Wajahnya berubah, tak menyangka Reyhan berani bicara seperti itu.

Reyhan berdiri. “Silakan, mau pilih jalan cepat atau jalan bermartabat. Tapi mulai sekarang, lo gak bisa kendaliin gue.”

Pak Darto, dari balik dapur, tak bisa menahan senyum kecil. Itu pertama kalinya ia melihat anaknya berdiri untuk sesuatu yang tidak bisa dibeli.

Toni mendesis, lalu merobek kertas itu. “Kita lihat aja, Reyhan. Dunia ini gak sebersih yang lo pikir.”

Ia pergi sambil menendang kursi. Tapi ia kalah—bukan secara fisik, tapi secara moral.

Setelah kepergian Toni, Reyhan membersihkan meja seperti biasa. Tapi kali ini, ia melakukannya dengan kepala tegak.

Pak Darto menghampirinya. “Kamu tahu, anak muda... orang kaya yang sesungguhnya bukan yang punya banyak uang. Tapi yang tahu kapan harus berdiri, walau sendirian.”

Reyhan menatapnya dan tersenyum. “Saya baru mulai belajar, Pak.”

Tapi belum sempat keduanya kembali bekerja, sebuah mobil hitam berhenti di depan warung.

Seorang pria berkacamata hitam keluar, membawa koper... dan kabar yang bisa mengubah segalanya.

Lanjut ke Bab 7: Surat Wasiat yang Mengguncang