Pagi itu, langit Ciputat mendung. Awan gelap menggantung di atas warung kecil yang tampak seperti biasa saja. Tapi di dalamnya, ada sebuah keputusan yang baru saja dilahirkan—diam-diam, tanpa teriakan, tapi penuh tekad.
Reyhan
menggulung lengan bajunya dan menyelipkan selembar kertas ke saku belakang
celana. Ia menatap cermin kecil di dapur, wajahnya keras, sorot matanya berbeda
dari seminggu lalu. Ia tak lagi terlihat seperti anak orang kaya yang tersesat.
Ia terlihat seperti orang yang siap memperjuangkan sesuatu... bahkan tanpa
warisan sekalipun.
Toni
datang tepat jam delapan pagi, seperti yang dijanjikannya. Ia duduk di bangku
warung sambil menyulut rokok, memperhatikan Reyhan dari jauh dengan senyum
licik.
“Jadi,
lo udah pikirin, kan?” tanya Toni, sambil mengetuk-ngetuk meja.
Reyhan
mengangguk. “Udah.”
“Bagus.
Lo bawa duitnya?”
Reyhan
duduk di depannya, lalu meletakkan selembar kertas di atas meja. “Gue gak kasih
lo uang. Tapi gue kasih lo kerja.”
Toni
mengernyit. “Hah?”
“Itu
daftar tempat lo bisa kerja harian. Gue tanya ke beberapa pelanggan warung yang
kerja bangunan. Ada yang butuh tenaga buat proyek rumah. Bayarannya cukup buat
nutup utang lo, kalau lo serius.”
Toni
tertawa mengejek. “Lo pikir gue mau kerja kayak lo? Nyuci piring, ngelap meja?”
Reyhan
menatapnya tajam. “Kalau lo lebih milih nyebar aib gue buat dapet uang cepat,
silakan. Tapi lo pikir gue takut? Kalau semua orang tahu gue kerja di sini,
terus kenapa? Lo kira gue malu? Gue baru belajar jadi manusia, dan gue gak akan
berhenti cuma karena ancaman murahan.”
Toni
terdiam. Wajahnya berubah, tak menyangka Reyhan berani bicara seperti itu.
Reyhan
berdiri. “Silakan, mau pilih jalan cepat atau jalan bermartabat. Tapi mulai
sekarang, lo gak bisa kendaliin gue.”
Pak
Darto, dari balik dapur, tak bisa menahan senyum kecil. Itu pertama kalinya ia
melihat anaknya berdiri untuk sesuatu yang tidak bisa dibeli.
Toni
mendesis, lalu merobek kertas itu. “Kita lihat aja, Reyhan. Dunia ini gak
sebersih yang lo pikir.”
Ia
pergi sambil menendang kursi. Tapi ia kalah—bukan secara fisik, tapi secara
moral.
Setelah
kepergian Toni, Reyhan membersihkan meja seperti biasa. Tapi kali ini, ia
melakukannya dengan kepala tegak.
Pak
Darto menghampirinya. “Kamu tahu, anak muda... orang kaya yang sesungguhnya bukan
yang punya banyak uang. Tapi yang tahu kapan harus berdiri, walau sendirian.”
Reyhan
menatapnya dan tersenyum. “Saya baru mulai belajar, Pak.”
Tapi
belum sempat keduanya kembali bekerja, sebuah mobil hitam berhenti di depan
warung.
Seorang
pria berkacamata hitam keluar, membawa koper... dan kabar yang bisa mengubah
segalanya.
Lanjut
ke Bab 7: Surat Wasiat yang Mengguncang