Dini
hari di warung itu biasanya sunyi. Namun malam itu, Reyhan tak bisa tidur. Ia
duduk di kursi plastik, menatap layar ponsel yang kini menjadi sumber ketakutan
baru. Ia tahu, satu foto Vincent saja cukup untuk membuat hidupnya runtuh—dan
semua yang ia bangun dalam diam akan lenyap.
Pak
Darto—Armand Prasetya yang menyamar—diam memperhatikan dari balik tirai dapur.
Ia tahu Reyhan gelisah. Tapi ia ingin tahu, apakah anak itu akan kabur dari
masalah... atau menghadapi.
Saat
matahari terbit, sesuatu yang tak terduga terjadi.
Seorang
pria kurus, berkaos hitam dan membawa selebaran, berdiri di depan warung.
Namanya Toni. Ia tukang parkir setempat, kadang-kadang bantu angkut galon. Tapi
pagi itu, Toni memegang kartu truf.
Ia
menatap Reyhan lama, lalu berkata pelan, “Lo anaknya Prasetya, ya?”
Reyhan
membeku. “Apa maksud lo?”
Toni
mengeluarkan ponselnya. Di layar, tampak foto Vincent dan Reyhan—di warung,
saat itu juga. Caption-nya samar: "Si anak sultan nyuci piring? Dunia
kebalik, bro."
“Gue
gak peduli siapa lo. Tapi gue tahu, banyak orang yang bakal peduli,” ujar Toni.
“Termasuk media. Termasuk... musuh bokap lo.”
Reyhan
menatapnya tajam. “Lo mau apa?”
Toni
menyeringai. “Gue cuma bilang: rahasia, itu mahal. Tapi bisa gue jaga... kalau
lo bantu gue.”
“Bantu
apa?”
“Ada
orang yang punya utang sama gue. Lo bantu lunasin, lima juta aja. Gak gede buat
anak orang kaya, kan?”
Reyhan
mendidih. Ia ingin meninju Toni saat itu juga. Tapi ia sadar, satu tindakanceroboh bisa membuat semuanya kacau. Ia hanya berkata pelan, “Gue pikirin.”
Toni
tertawa. “Pikirin cepat. Soalnya rahasia itu gampang bocor kalau terlalu lama
dipendam.”
Toni
pergi, meninggalkan jejak ancaman di udara.
Sore
harinya, Reyhan terlihat murung. Ia mencuci piring lebih lambat dari biasanya,
dan beberapa kali salah pesan. Pak Darto akhirnya mendekat.
“Kamu
gak fokus,” ujarnya tegas.
“Maaf,
Pak. Ada yang... ganggu pikiran.”
Pak
Darto menatapnya lama. “Kalau kamu lari sekarang, semua yang kamu pelajari di sini
akan sia-sia.”
Reyhan
menunduk. “Saya gak mau lari. Tapi saya juga gak tahu harus ngapain.”
Pak
Darto berpaling. Ia tahu saatnya hampir tiba. Tapi satu hal belum ia lihat dari
anaknya: keberanian untuk melawan dengan caranya sendiri.
Dan
malam itu, Reyhan duduk menulis sesuatu di selembar kertas. Ia tidak bicara
pada siapa-siapa. Tapi raut wajahnya berubah.
Besok,
ia akan menantang Toni... tanpa menyebut siapa dirinya sebenarnya.
Lanjut
ke Bab 6: Perlawanan Dimulai, Tanpa Nama Keluarga