NOVEL "PEWARISAN TERAKHIR": Ancaman dari Arah Tak Terduga (CHAPTER 5)

 

Dini hari di warung itu biasanya sunyi. Namun malam itu, Reyhan tak bisa tidur. Ia duduk di kursi plastik, menatap layar ponsel yang kini menjadi sumber ketakutan baru. Ia tahu, satu foto Vincent saja cukup untuk membuat hidupnya runtuh—dan semua yang ia bangun dalam diam akan lenyap.

Pak Darto—Armand Prasetya yang menyamar—diam memperhatikan dari balik tirai dapur. Ia tahu Reyhan gelisah. Tapi ia ingin tahu, apakah anak itu akan kabur dari masalah... atau menghadapi.

Saat matahari terbit, sesuatu yang tak terduga terjadi.

Seorang pria kurus, berkaos hitam dan membawa selebaran, berdiri di depan warung. Namanya Toni. Ia tukang parkir setempat, kadang-kadang bantu angkut galon. Tapi pagi itu, Toni memegang kartu truf.

Ia menatap Reyhan lama, lalu berkata pelan, “Lo anaknya Prasetya, ya?”

Reyhan membeku. “Apa maksud lo?”

Toni mengeluarkan ponselnya. Di layar, tampak foto Vincent dan Reyhan—di warung, saat itu juga. Caption-nya samar: "Si anak sultan nyuci piring? Dunia kebalik, bro."

“Gue gak peduli siapa lo. Tapi gue tahu, banyak orang yang bakal peduli,” ujar Toni. “Termasuk media. Termasuk... musuh bokap lo.”

Reyhan menatapnya tajam. “Lo mau apa?”

Toni menyeringai. “Gue cuma bilang: rahasia, itu mahal. Tapi bisa gue jaga... kalau lo bantu gue.”

“Bantu apa?”

“Ada orang yang punya utang sama gue. Lo bantu lunasin, lima juta aja. Gak gede buat anak orang kaya, kan?”

Reyhan mendidih. Ia ingin meninju Toni saat itu juga. Tapi ia sadar, satu tindakanceroboh bisa membuat semuanya kacau. Ia hanya berkata pelan, “Gue pikirin.”

Toni tertawa. “Pikirin cepat. Soalnya rahasia itu gampang bocor kalau terlalu lama dipendam.”

Toni pergi, meninggalkan jejak ancaman di udara.

Sore harinya, Reyhan terlihat murung. Ia mencuci piring lebih lambat dari biasanya, dan beberapa kali salah pesan. Pak Darto akhirnya mendekat.

“Kamu gak fokus,” ujarnya tegas.

“Maaf, Pak. Ada yang... ganggu pikiran.”

Pak Darto menatapnya lama. “Kalau kamu lari sekarang, semua yang kamu pelajari di sini akan sia-sia.”

Reyhan menunduk. “Saya gak mau lari. Tapi saya juga gak tahu harus ngapain.”

Pak Darto berpaling. Ia tahu saatnya hampir tiba. Tapi satu hal belum ia lihat dari anaknya: keberanian untuk melawan dengan caranya sendiri.

Dan malam itu, Reyhan duduk menulis sesuatu di selembar kertas. Ia tidak bicara pada siapa-siapa. Tapi raut wajahnya berubah.

Besok, ia akan menantang Toni... tanpa menyebut siapa dirinya sebenarnya.

Lanjut ke Bab 6: Perlawanan Dimulai, Tanpa Nama Keluarga