Sinar matahari pertama menembus pepohonan, memantulkan cahaya keemasan di
permukaan danau yang tenang. Aku duduk diam di tepi rerumputan, menikmati udara
pagi yang sejuk dan segar. Angin lembut meniupkan suara lirih di antara
ilalang, dan dunia terasa begitu damai. Lalu, aku melihatnya — seekor angsa
yang meluncur pelan di atas air.
Ia bergerak dengan begitu anggun, seolah-olah tidak menyentuh permukaan air
sama sekali. Bulu-bulunya yang putih berkilau diterpa cahaya matahari pagi, dan
lehernya yang panjang melengkung indah saat ia mencari makanan di bawah air.
Aku terpaku, nyaris tak berani bergerak, takut mengganggu ketenangan yang ada.
Tak lama kemudian, muncul seekor angsa lain, bergabung dengan yang pertama.
Mereka bergerak selaras, berdampingan, seolah menari mengikuti irama yang hanya
mereka yang bisa dengar. Sesekali, mereka menunduk bersama atau mengepakkan
sayap dengan lembut. Ikatan di antara mereka begitu nyata — pasangan hidup yang
saling melengkapi.
Tiba-tiba, angsa pertama mengeluarkan suara lembut. Dari balik ilalang,
muncul tiga anak angsa kecil. Bulu mereka abu-abu dan halus, berjalan tertatih
menuju air mengikuti sang induk. Mereka berenang dengan canggung tapi penuh
semangat. Pemandangan itu terasa sangat hangat — sebuah keluarga yang menyatu
karena naluri dan kasih sayang.
Aku tetap duduk di sana, menyaksikan mereka menjelajah danau bersama. Dunia
terasa lebih lambat, lebih lembut, seolah waktu berhenti sejenak untuk memberi
ruang pada keindahan yang tenang ini. Akhirnya, angsa-angsa itu menjauh,
menghilang ke dalam kabut tipis yang menggantung di atas air.
Saat aku berdiri untuk pergi, ada rasa damai yang mengalir di dalam diriku.
Alam seperti membisikkan rahasia — tentang keindahan hidup, cinta, dan
ketenangan, dalam wujud seekor angsa.