Langit
sore memerah, seolah ikut menjadi saksi bahwa sesuatu besar akan terjadi di
warung kecil itu. Reyhan duduk termenung di bangku kayu, map berisi surat
wasiat masih di tangannya. Kata-kata kurir hukum itu terngiang di kepala—bahwa
warisan bukan hanya tentang angka, tapi juga tentang layak atau tidaknya
seseorang menerima tanggung jawab.
Pak
Darto sedang mengelap meja ketika Reyhan akhirnya bertanya, “Pak, boleh saya
tanya sesuatu?”
Armand
menoleh. “Apa itu?”
“Kenapa
Bapak sering bilang hal-hal bijak tentang hidup... seolah Bapak pernah ada di
tempat tinggi?”
Pak
Darto tertawa kecil, tapi tak menjawab.
Reyhan
melanjutkan, “Dulu, Papa saya sering bilang: ‘Orang yang besar bukan yang bisa
beli apapun, tapi yang bisa kehilangan segalanya dan tetap berdiri.’ Kata-kata
Bapak... mirip.”
Pak
Darto terdiam. Tangannya berhenti bergerak. Diam itu terlalu panjang, terlalu
penuh makna.
“Pak...”
Reyhan menatapnya, suaranya bergetar, “Siapa Bapak sebenarnya?”
Armand
menarik kursi dan duduk di depannya. Wajah lelahnya tak bisa lagi
menyembunyikan apa pun. Ia membuka topinya perlahan, menyapu rambutnya ke
belakang, dan menatap anaknya dengan mata yang kini tak lagi bisa bersembunyi.
“Aku
ayahmu, Reyhan.”
Sunyi.
Angin
sore berdesir perlahan, seolah berhenti sejenak untuk memberi ruang pada dua
hati yang saling terdiam.
“Apa?”
bisik Reyhan, seperti tak percaya telinganya sendiri.
“Namaku
bukan Darto. Aku... Armand Prasetya.”
Reyhan
berdiri mendadak, bangkunya nyaris terjatuh. “Kamu bohong!”
“Aku
gak bohong. Aku menyamar, iya. Tapi bukan untuk mempermainkanmu. Aku ingin tahu
siapa kamu—bukan saat kamu punya segalanya, tapi saat kamu gak punya apa-apa.”
“Maksud
Papa... selama ini Papa ngelihat semua? Dari awal aku kerja di sini?”
Armand
mengangguk pelan.
“Papa
nyuruh orang suruh aku hidup susah, buat nguji aku?!”
“Bukan
suruh kamu susah,” jawab Armand dengan tenang. “Aku cuma ambil semua yang
mudah, supaya kamu tahu rasanya bangkit. Aku ingin melihat... kamu bisa
berdiri, bukan hanya menggenggam warisan.”
Reyhan
mundur beberapa langkah, matanya berkaca-kaca.
“Jadi...
semua ini bohong? Warung ini? Nama Bapak? Semuanya setting-an?”
“Tidak
semuanya. Keringatmu... usahamu... keputusanmu untuk melawan Toni... semua itu
nyata, Rey.”
Reyhan
duduk kembali, pelan, seperti baru saja jatuh dari langit. “Lalu... surat
wasiat itu juga... setting-an?”
“Tidak.
Itu nyata. Tapi surat itu hanya berlaku... kalau aku yakin kamu layak. Dan
sekarang... aku mulai percaya, kamu memang pantas.”
Sunyi
kembali turun, tapi kali ini bukan karena amarah. Melainkan karena keduanya
sedang menata kembali puing-puing hubungan yang selama ini hanya dibangun di
atas warisan—bukan pengertian.
Lanjut
ke Bab 9: Warisan Sebenarnya