NOVEL "PEWARISAN TERAKHIR": Kebenaran di Balik Nama “Pak Darto” (CHAPTER 8)

 


Langit sore memerah, seolah ikut menjadi saksi bahwa sesuatu besar akan terjadi di warung kecil itu. Reyhan duduk termenung di bangku kayu, map berisi surat wasiat masih di tangannya. Kata-kata kurir hukum itu terngiang di kepala—bahwa warisan bukan hanya tentang angka, tapi juga tentang layak atau tidaknya seseorang menerima tanggung jawab.

Pak Darto sedang mengelap meja ketika Reyhan akhirnya bertanya, “Pak, boleh saya tanya sesuatu?”

Armand menoleh. “Apa itu?”

“Kenapa Bapak sering bilang hal-hal bijak tentang hidup... seolah Bapak pernah ada di tempat tinggi?”

Pak Darto tertawa kecil, tapi tak menjawab.

Reyhan melanjutkan, “Dulu, Papa saya sering bilang: ‘Orang yang besar bukan yang bisa beli apapun, tapi yang bisa kehilangan segalanya dan tetap berdiri.’ Kata-kata Bapak... mirip.”

Pak Darto terdiam. Tangannya berhenti bergerak. Diam itu terlalu panjang, terlalu penuh makna.

“Pak...” Reyhan menatapnya, suaranya bergetar, “Siapa Bapak sebenarnya?”

Armand menarik kursi dan duduk di depannya. Wajah lelahnya tak bisa lagi menyembunyikan apa pun. Ia membuka topinya perlahan, menyapu rambutnya ke belakang, dan menatap anaknya dengan mata yang kini tak lagi bisa bersembunyi.

“Aku ayahmu, Reyhan.”

Sunyi.

Angin sore berdesir perlahan, seolah berhenti sejenak untuk memberi ruang pada dua hati yang saling terdiam.

“Apa?” bisik Reyhan, seperti tak percaya telinganya sendiri.

“Namaku bukan Darto. Aku... Armand Prasetya.”

Reyhan berdiri mendadak, bangkunya nyaris terjatuh. “Kamu bohong!”

“Aku gak bohong. Aku menyamar, iya. Tapi bukan untuk mempermainkanmu. Aku ingin tahu siapa kamu—bukan saat kamu punya segalanya, tapi saat kamu gak punya apa-apa.”

“Maksud Papa... selama ini Papa ngelihat semua? Dari awal aku kerja di sini?”

Armand mengangguk pelan.

“Papa nyuruh orang suruh aku hidup susah, buat nguji aku?!”

“Bukan suruh kamu susah,” jawab Armand dengan tenang. “Aku cuma ambil semua yang mudah, supaya kamu tahu rasanya bangkit. Aku ingin melihat... kamu bisa berdiri, bukan hanya menggenggam warisan.”

Reyhan mundur beberapa langkah, matanya berkaca-kaca.

“Jadi... semua ini bohong? Warung ini? Nama Bapak? Semuanya setting-an?”

“Tidak semuanya. Keringatmu... usahamu... keputusanmu untuk melawan Toni... semua itu nyata, Rey.”

Reyhan duduk kembali, pelan, seperti baru saja jatuh dari langit. “Lalu... surat wasiat itu juga... setting-an?”

“Tidak. Itu nyata. Tapi surat itu hanya berlaku... kalau aku yakin kamu layak. Dan sekarang... aku mulai percaya, kamu memang pantas.”

Sunyi kembali turun, tapi kali ini bukan karena amarah. Melainkan karena keduanya sedang menata kembali puing-puing hubungan yang selama ini hanya dibangun di atas warisan—bukan pengertian.

Lanjut ke Bab 9: Warisan Sebenarnya