NOVEL “PEWARISAN TERAKHIR": Kebenaran yang Nyaris Terungkap (CHAPTER 4)

 

Malam turun perlahan di langit Ciputat. Lampu warung menyala temaram, menyinari ruang sempit yang kini terasa hangat bagi Reyhan. Ia mulai terbiasa dengan kehidupan ini—bukan karena mudah, tapi karena nyata. Tak ada kemewahan palsu, tak ada pujian basa-basi. Hanya kerja keras, keringat, dan secuil harga diri yang mulai tumbuh kembali.

Namun, di sisi lain kota, seseorang sibuk mengetik pesan singkat.

Dari: Vincent
Kepada: Armand Prasetya
"Pak Armand, saya tidak tahu apakah ini penting, tapi saya tadi siang melihat Reyhan bekerja di sebuah warung kecil di Ciputat. Apakah Anda tahu tentang ini?"

Pesan itu dikirim. Dan kini, nasib Reyhan tergantung pada satu layar ponsel.

Di warung, Pak Darto duduk di belakang sambil memperbaiki regulator gas yang mulai longgar. Reyhan sedang membersihkan meja, dan malam terasa damai... sampai suara sepeda motor berhenti di depan.

Seseorang turun—perempuan, muda, wajahnya akrab. Reyhan menoleh dan terkejut.

“Ara?”

Ara, mantan kekasih Reyhan, berdiri kikuk di depan warung. Rambutnya kini lebih pendek, wajahnya tidak lagi bermakeup tebal seperti dulu. Tapi senyumnya tetap sama—tulus dan hangat.

“Aku... lihat postingan Vincent. Dia upload di Instagram, terus aku cari alamatnya,” kata Ara pelan.

Reyhan langsung pucat. “Dia upload?”

Ara mengangguk. “Story aja sih. Tapi... banyak yang lihat.”

Reyhan memegang kepalanya. “Sial... Kalau Papa tahu...”

Pak Darto mendekat perlahan, pura-pura tidak tahu, namun hatinya waspada. Ia tahu waktunya menyamar bisa jadi tak lama lagi.

Ara duduk. “Kenapa kamu di sini, Rey? Apa yang sebenarnya kamu cari?”

Reyhan menghela napas. “Aku... jenuh. Dulu aku hidup enak, tapi gak tahu buat apa. Di sini... setidaknya aku bisa ngerasa hidup. Gak tahu ya, mungkin aneh.”

Ara tersenyum lembut. “Kamu gak aneh. Kamu baru mulai jadi manusia.”

Pak Darto menahan napas mendengar kalimat itu.

Namun sebelum percakapan itu bisa berlanjut, ponsel Reyhan bergetar keras.

PAPA — panggilan masuk.

Reyhan terpaku. Napasnya tercekat. Layar ponsel menunjukkan wajah yang seharusnya sedang “dirawat” di Swiss.

Dengan tangan gemetar, ia menolak panggilan itu.

Pak Darto menatap Reyhan dalam diam, jantungnya berdetak kencang.

"Dia belum tahu... atau justru sudah?" pikir Armand dalam hati.

Malam itu, Reyhan duduk sendiri di sudut warung, menatap langit yang gelap. Ia tahu waktunya tak banyak. Kalau semua terbongkar, hidupnya akan kembali seperti dulu—dan itu yang paling ia takuti sekarang.