Malam turun perlahan di langit Ciputat. Lampu warung menyala temaram, menyinari ruang sempit yang kini terasa hangat bagi Reyhan. Ia mulai terbiasa dengan kehidupan ini—bukan karena mudah, tapi karena nyata. Tak ada kemewahan palsu, tak ada pujian basa-basi. Hanya kerja keras, keringat, dan secuil harga diri yang mulai tumbuh kembali.
Namun,
di sisi lain kota, seseorang sibuk mengetik pesan singkat.
Dari:
Vincent
Kepada: Armand Prasetya
"Pak Armand, saya tidak tahu apakah ini penting, tapi saya
tadi siang melihat Reyhan bekerja di sebuah warung kecil di Ciputat. Apakah
Anda tahu tentang ini?"
Pesan
itu dikirim. Dan kini, nasib Reyhan tergantung pada satu layar ponsel.
Di
warung, Pak Darto duduk di belakang sambil memperbaiki regulator gas yang mulai
longgar. Reyhan sedang membersihkan meja, dan malam terasa damai... sampai
suara sepeda motor berhenti di depan.
Seseorang
turun—perempuan, muda, wajahnya akrab. Reyhan menoleh dan terkejut.
“Ara?”
Ara,
mantan kekasih Reyhan, berdiri kikuk di depan warung. Rambutnya kini lebih
pendek, wajahnya tidak lagi bermakeup tebal seperti dulu. Tapi senyumnya tetap
sama—tulus dan hangat.
“Aku...
lihat postingan Vincent. Dia upload di Instagram, terus aku cari alamatnya,”
kata Ara pelan.
Reyhan
langsung pucat. “Dia upload?”
Ara
mengangguk. “Story aja sih. Tapi... banyak yang lihat.”
Reyhan
memegang kepalanya. “Sial... Kalau Papa tahu...”
Pak
Darto mendekat perlahan, pura-pura tidak tahu, namun hatinya waspada. Ia tahu
waktunya menyamar bisa jadi tak lama lagi.
Ara
duduk. “Kenapa kamu di sini, Rey? Apa yang sebenarnya kamu cari?”
Reyhan
menghela napas. “Aku... jenuh. Dulu aku hidup enak, tapi gak tahu buat apa. Di
sini... setidaknya aku bisa ngerasa hidup. Gak tahu ya, mungkin aneh.”
Ara
tersenyum lembut. “Kamu gak aneh. Kamu baru mulai jadi manusia.”
Pak
Darto menahan napas mendengar kalimat itu.
Namun
sebelum percakapan itu bisa berlanjut, ponsel Reyhan bergetar keras.
PAPA
— panggilan masuk.
Reyhan
terpaku. Napasnya tercekat. Layar ponsel menunjukkan wajah yang seharusnya
sedang “dirawat” di Swiss.
Dengan
tangan gemetar, ia menolak panggilan itu.
Pak
Darto menatap Reyhan dalam diam, jantungnya berdetak kencang.
"Dia
belum tahu... atau justru sudah?" pikir Armand dalam hati.
Malam
itu, Reyhan duduk sendiri di sudut warung, menatap langit yang gelap. Ia tahu
waktunya tak banyak. Kalau semua terbongkar, hidupnya akan kembali seperti
dulu—dan itu yang paling ia takuti sekarang.