Pagi ketujuh di warung Pak Darto dimulai seperti biasanya: bau gorengan panas, bunyi sendok beradu dengan wajan, dan Reyhan yang mulai terbiasa dengan ritme barunya. Ia sudah hafal pelanggan tetap, sudah tahu kapan harus mengganti minyak, bahkan mulai bisa masak mie instan tanpa membuatnya terlalu lembek.
Namun
hari itu berbeda. Ketika jam makan siang tiba, seorang pria berjas masuk ke
warung kecil itu. Penampilannya mencolok—celana bahan rapi, sepatu mengilap,
dan arloji mahal yang tak cocok dengan kursi plastik tempat ia duduk. Ia
memandangi Reyhan dengan tatapan kaget.
“Reyhan
Prasetya?” tanyanya setengah berbisik.
Reyhan
menoleh, wajahnya kaget, seperti tertangkap basah sedang berbohong.
“Vincent?”
sahut Reyhan. “Ngapain lo di sini?”
Vincent
adalah teman kuliahnya di London, anak pengusaha properti juga, biasa nongkrong
di rooftop bar dan naik helikopter untuk liburan akhir pekan. Kini dia duduk di
warung kecil di Ciputat, menatap sahabat lamanya yang sedang membawa baki isi
es teh dan nasi goreng telur.
“Astaga,
Rey... lo kenapa? Dibuang bokap lo, ya?”
Reyhan
hanya tersenyum hambar. “Gak usah dibesar-besarin. Gue cuma lagi... ya, nyari
pengalaman.”
Pak
Darto diam dari balik dapur, tapi telinganya tajam. Nama “Prasetya” yang
disebut Vincent cukup untuk membuatnya waspada.
Vincent
tertawa sinis. “Nyari pengalaman? Lo yakin bokap lo gak tahu? Armand Prasetya?
Dia pasti panik kalau tahu anaknya kerja di tempat kayak gini.”
“Ssst!
Jangan keras-keras,” potong Reyhan cepat. “Gue belum cerita siapa-siapa. Dan
tolong, jangan bilang siapa-siapa juga.”
Vincent
mengangkat alis, namun akhirnya mengangguk. “Oke, rahasia. Tapi lo gila. Ini
bukan lo yang gue kenal.”
Ketika
Vincent pergi, Reyhan kembali ke dapur dengan napas berat.
“Teman
lama?” tanya Pak Darto tanpa menoleh.
Reyhan
mengangguk. “Dulu... dari masa lalu.”
“Dia
tahu kamu siapa sebenarnya?”
Reyhan
terdiam. Lalu menjawab lirih, “Iya.”
Pak
Darto menyendok nasi dengan perlahan, matanya kosong menatap dinding.
“Masa
lalu memang susah dikubur. Tapi kadang, yang penting bukan siapa kamu dulu...
tapi siapa kamu sekarang.”
Reyhan
tak tahu harus membalas apa. Ia hanya tahu, satu langkah kecil ke masa lalu
bisa menggagalkan segalanya. Ia harus bertahan.
Tapi
di luar warung, Vincent menatap ponselnya. Jarinya bergerak membuka kontak.
“Apa
yang terjadi kalau Armand tahu anaknya kerja di warung pinggir jalan?”
gumamnya.
Lanjut
ke Bab 4: Kebenaran yang Nyaris Terungkap