Pagi datang tanpa alarm, tanpa AC, tanpa kopi Arabika dari kafe langganan. Reyhan terbangun di atas kasur tipis beraroma lembap yang menempel pada lantai semen dingin. Rambutnya acak-acakan, kaosnya masih basah di beberapa bagian. Ia baru menyadari betapa keras dunia bisa terasa, bahkan hanya semalam hidup di luar zona nyaman.
Warung
itu tak besar—hanya petak 3x4 meter dengan dapur terbuka yang menyatu dengan
ruang makan. Meja plastik, kursi dari kaleng bekas, dan bau minyak jelantah
menyambutnya pagi itu. Pak Darto—yang tak lain adalah Armand Prasetya dalam
penyamaran—sudah sibuk meracik bumbu dan menyalakan kompor.
“Kamu
telat 15 menit,” ujar Pak Darto tanpa menoleh.
“Maaf,
Pak. Saya belum biasa tidur di... tempat seperti ini,” jawab Reyhan sambil
menggaruk kepala.
Pak
Darto hanya tertawa kecil. “Kamu pikir ini hotel?”
Reyhan
tak menjawab. Ia menggulung lengan kaos dan mulai mencuci piring-piring yang menumpuk
di ember. Tangan halus yang terbiasa memegang setir mobil kini menyentuh sisa
nasi, minyak, dan piring berkerak.
Pelanggan
mulai datang. Warung itu, meskipun sederhana, punya pelanggan tetap. Tukang
bangunan, ibu-ibu pasar, dan anak-anak sekolah. Reyhan yang dulu memesan makan
lewat aplikasi, kini mengantar pesanan ke meja sambil sesekali salah menyebut
nama menu.
“Mas,
saya pesan mie goreng, bukan mie rebus!” protes seorang pelanggan.
“Maaf,
Bu! Saya... saya ganti sekarang.”
Armand
mengamati dari balik dapur. Setiap salah, setiap keluhan, setiap tatapan sinis
pelanggan—itu semua adalah pelajaran. Dan Reyhan... untuk pertama kalinya
terlihat mencoba.
Malam
harinya, setelah semua pelanggan pergi, Reyhan duduk kelelahan. Tangannya
lecet, kakinya pegal, dan bajunya penuh bau minyak.
“Pak,”
katanya pelan, “Boleh tanya sesuatu?”
“Tanya
saja.”
“Kenapa
Bapak mau hidup seperti ini? Berat banget.”
Armand
meletakkan sendok, menatap Reyhan dalam.
“Karena
hidup bukan tentang enak atau tidak. Tapi tentang bertahan. Dan belajar
menghargai yang kamu punya.”
Reyhan
terdiam. Kalimat itu menamparnya lebih keras daripada suara klakson di bundaran
HI.
Tak
ada yang tahu, malam itu Reyhan menangis diam-diam. Bukan karena lapar, tapi
karena malu. Ia mulai menyadari bahwa semua kenyamanan yang dulu ia terima, ia
tak pernah betul-betul usahakan.
Namun,
ia masih belum tahu, ujian sejati belum dimulai.
Lanjut
ke Bab 3: Tamu Tak Diundang Membawa Kebenaran