NOVEL “PEWARISAN TERAKHIR": Di Balik Minyak dan Asap (CHAPTER 2)

 

Pagi datang tanpa alarm, tanpa AC, tanpa kopi Arabika dari kafe langganan. Reyhan terbangun di atas kasur tipis beraroma lembap yang menempel pada lantai semen dingin. Rambutnya acak-acakan, kaosnya masih basah di beberapa bagian. Ia baru menyadari betapa keras dunia bisa terasa, bahkan hanya semalam hidup di luar zona nyaman.

Warung itu tak besar—hanya petak 3x4 meter dengan dapur terbuka yang menyatu dengan ruang makan. Meja plastik, kursi dari kaleng bekas, dan bau minyak jelantah menyambutnya pagi itu. Pak Darto—yang tak lain adalah Armand Prasetya dalam penyamaran—sudah sibuk meracik bumbu dan menyalakan kompor.

“Kamu telat 15 menit,” ujar Pak Darto tanpa menoleh.

“Maaf, Pak. Saya belum biasa tidur di... tempat seperti ini,” jawab Reyhan sambil menggaruk kepala.

Pak Darto hanya tertawa kecil. “Kamu pikir ini hotel?”

Reyhan tak menjawab. Ia menggulung lengan kaos dan mulai mencuci piring-piring yang menumpuk di ember. Tangan halus yang terbiasa memegang setir mobil kini menyentuh sisa nasi, minyak, dan piring berkerak.

Pelanggan mulai datang. Warung itu, meskipun sederhana, punya pelanggan tetap. Tukang bangunan, ibu-ibu pasar, dan anak-anak sekolah. Reyhan yang dulu memesan makan lewat aplikasi, kini mengantar pesanan ke meja sambil sesekali salah menyebut nama menu.

“Mas, saya pesan mie goreng, bukan mie rebus!” protes seorang pelanggan.

“Maaf, Bu! Saya... saya ganti sekarang.”

Armand mengamati dari balik dapur. Setiap salah, setiap keluhan, setiap tatapan sinis pelanggan—itu semua adalah pelajaran. Dan Reyhan... untuk pertama kalinya terlihat mencoba.

Malam harinya, setelah semua pelanggan pergi, Reyhan duduk kelelahan. Tangannya lecet, kakinya pegal, dan bajunya penuh bau minyak.

“Pak,” katanya pelan, “Boleh tanya sesuatu?”

“Tanya saja.”

“Kenapa Bapak mau hidup seperti ini? Berat banget.”

Armand meletakkan sendok, menatap Reyhan dalam.

“Karena hidup bukan tentang enak atau tidak. Tapi tentang bertahan. Dan belajar menghargai yang kamu punya.”

Reyhan terdiam. Kalimat itu menamparnya lebih keras daripada suara klakson di bundaran HI.

Tak ada yang tahu, malam itu Reyhan menangis diam-diam. Bukan karena lapar, tapi karena malu. Ia mulai menyadari bahwa semua kenyamanan yang dulu ia terima, ia tak pernah betul-betul usahakan.

Namun, ia masih belum tahu, ujian sejati belum dimulai.

Lanjut ke Bab 3: Tamu Tak Diundang Membawa Kebenaran