Kepada
Nona Kecil penghangat pagi,
Barangkali Nona membaca ini dengan
perasaan kesal setengah mati, sepenuh hati. Saya ingin Nona mengetahui bahwa
dengan kesungguhan yang sama, saya memohon padamu untuk memaafkan saya. Saya
baik-baik saja, Nona, percayalah saya cukup kuat untuk menjadi laki-laki baik.
Setidaknya saya akan berusaha untuk tetap baik-baik saja. Yakinlah. Nona tidak
perlu mengkhawatirkan tentang apapun. Pada akhirnya, semua tetap akan menjadi
baik. Tapi bukankah tidak ada salah satu dari kita yang pernah memulai apapun
hingga cerita tentang kita perlu memiliki akhir?
Benarkah kabar-kabar tentang saya
ditabur angin hingga membentang demikian padang? Mungkin pengasinganku tidak
cukup jauh. Hingga masih ada mata-mata yang membicarakanku, masih mampu
mulut-mulut itu mengamatiku. Besok saya akan berangkat ke bulan, bersembunyi
pada sisinya yang paling gelap, hingga tidak ada lagi cahaya, tidak pula udara.
Dengan begitu tidak akan ada lagi yang bisa menyiarkan berita apapun tentang
laki-laki yang mengasingkan diri dari matahari. Nona kecil, kumohon
mengertilah. Kamu terlalu menggemaskan untuk menghakimi apapun, biar telinga
sekalipun. Tidak ada dosa yang membutuhkan hukuman pancung, Nona. Biarlah
cuping-cuping itu bahagia, agar saya masih bisa mengingat satu tempat di mana
kamu mengaitkan anak-anak rambutmu ketika malu-malu. Nona cantik sekali saat
itu. Sungguh.
Bunga lili itu masih kamu simpan
rupanya. Terima kasih sudah mengenangnya, Nona. Kamu masih ingat penghuni satu-satunya
Taman Eden kecil saya? Bunga-bunga lili sewarna putih susu. Tentu saja
semestinya kamu ingat, saya sendiri yang meminta bantuanmu menanamnya
bersama-sama dulu. Aku tidak ingat pernah sejatuh cinta itu pada bunga, Nona,
tidak hingga kamu mengatakan padaku arti sebuah lili putih. Kembang-kembang
yang seperti tembang doa ibumu ketika kamu menangis kencang melihat cahaya
pertama kali, gadis putih suci yang baik hati. Ibumu tentu sangat mencintai
bunga lili. Tapi di hariku yang paling jatuh aku melihat kebun itu begitu
janggal, bunga yang Nona simpan itu tumbuh dan tinggal. Lili kuning yang saya
yakin bukan kamu, kebohongan palsu yang datang dengan begitu riang. Saya tidak
berbohong ketika berkata semestinya kamu membenciku, Nona. Begitu pula ketika saya
mengatakan kamu tidak mencintai saya. Memberikanmu bunga lili kuning itu sama
saja menuduhmu penipu yang penuh kepalsuan, sebuah alasan bukan? Dan seketika
kamu melingkarkan janji itu pada jari manismu, maka saat itu saya telah membuat
kontrak seumur hidup bersama patah hati.
Nona Kecil,
Saya percaya masing-masing hati punya
cerita hujannya sendiri-sendiri. Milikku adalah kamu yang bermain-main hujan
bersama payung berwarna kuning menyala. Payung itu cukup lapang untuk
meneduhkan kita berdua, tapi kamu memilih untuk memutar-mutarnya dan
melompat-lompat seperti kelinci. Hari itu saya mempercayai sesuatu, payung
hanya satu dari ribuan ciptaan yang mampu meneduhkan dan jahe bukan
satu-satunya hal yang sanggup menghangatkan. Sejak itu saya memanggilmu matahari,
ciptaan Tuhan yang menari-nari bersama hujan untuk mengundang pelangi.
Barangkali benar bahwa kita tidak pernah diijinkan untuk terlampau mencintai,
atau Tuhan akan menunjukkan satu alasan yang membuat masing-masing kita saling
membenci. Begitu juga cerita saya dengan hujan. Saya tahu hujan adalah
satu-satunya alasan yang membuatmu rela tertahan, sebab saya saja barangkali
tidak akan mampu menahanmu. Tapi hari itu hujan, dan dia bahkan saya rasa tidak
mencoba menahanmu untuk mengangguk kepada laki-laki yang kamu bilang begitu
mencintamu itu. Atau barangkali Nona ingin membelanya? Bahwa hujan sudah cukup
berusaha?
Nona Kecil yang masih kupanggil
matahari,
Saya mohon berhentilah meminta pada
Tuhan untuk menghentikan waktu. Seperti pada riwayat Selene yang dewi bulan dan
seorang gembala itu, permintaan semacam itu akan membawa kedukaan yang begitu
panjang. Percayalah bahwa cinta diperjuangkan sebab keberadaan ketidakabadian
hingga maut akan tetap niscaya. Mengertilah, hidup tidak pernah diciptakan
sebercanda itu.