Langit
Jakarta menggantung kelabu di atas Menara Prasetya, gedung 60 lantai yang
menjulang seperti simbol keangkuhan seorang pria bernama Armand Prasetya. Di
ruang kerjanya yang sunyi, pria 68 tahun itu berdiri menghadap jendela lebar,
menatap lalu lintas yang padat dan suara kota yang tak pernah tidur.
Di
belakangnya, meja marmer hitam berisi berkas-berkas kontrak, grafik saham, dan
surat wasiat yang baru saja ia tanda tangani pagi ini. Namun yang membuatnya
terdiam bukanlah angka-angka itu, melainkan satu foto kecil berbingkai perak:
potret seorang pemuda dengan senyum setengah malas—Reyhan Prasetya, anak semata
wayangnya.
Reyhan
baru saja pulang dari tiga tahun kuliah di London. Armand menyambutnya dengan
mobil sport baru, apartemen di SCBD, dan akses penuh ke kartu kredit keluarga.
Tapi setelah enam bulan, Reyhan tak kunjung menunjukkan minat pada bisnis
keluarga. Ia lebih sibuk berpesta, berlibur, dan menghabiskan malam di
klub-klub elit ibu kota.
“Jika
aku mati besok, semuanya akan jatuh ke tangan anak yang belum tahu apa artinya
membangun,” gumam Armand.
Ia
menghela napas, lalu menekan interkom.
“Surti,
tolong siapkan koper kecil. Saya akan pergi untuk beberapa waktu.”
“Tuan
ke mana?”
“Liburan.
Tapi kali ini, sendirian.”
Tiga
hari kemudian, dunia dikejutkan oleh kabar bahwa Armand Prasetya mengalami
serangan jantung ringan dan dibawa ke Swiss untuk perawatan. Reyhan diminta
menjaga rumah dan bisnis untuk sementara.
Yang
tak diketahui siapa pun adalah, Armand tak pernah pergi ke Swiss. Ia berada di
sebuah rumah petak di daerah Ciputat, menyamar sebagai Pak Darto—mantan pekerja
proyek yang kini mengelola warung kecil di gang sempit. Ia menyewa identitas
palsu, mengenakan pakaian lusuh, dan menyembunyikan semua jejaknya sebagai
taipan.
Ia
ingin melihat: apakah Reyhan akan tetap berdiri jika semua kemewahan diambil
darinya?
Tiga
minggu berlalu, dan Reyhan belum juga berubah. Armand menyimak dari
jauh—melalui orang kepercayaannya, melalui berita kecil yang tak terpublikasi
di media besar. Ia tahu, saatnya membuat Reyhan jatuh. Tapi bukan untuk
menghancurkannya. Justru agar ia bisa bangkit.
Malam
itu, hujan turun deras. Armand duduk di bangku kayu lapuk warungnya yang
sederhana. Lalu seorang pemuda datang tergesa, basah kuyup, wajahnya pucat.
“Permisi,
Pak. Saya… saya dengar Bapak butuh karyawan.”
Armand
menoleh. Untuk pertama kalinya, ia melihat anaknya berdiri di hadapannya, tanpa
jas mahal, tanpa kunci mobil mewah. Hanya seorang pemuda dengan mata lelah dan
suara yang mulai gentar.
“Namamu
siapa?” tanya Armand dengan suara berat.
“Reyhan,
Pak.”
Armand
menyipitkan mata, menahan senyum yang nyaris terbentuk.
“Kalau
begitu, Reyhan... mulai besok, kamu kerja cuci piring di sini. Gaji kecil. Jam
kerja panjang.”
Reyhan
mengangguk pelan. “Asal bisa makan, saya terima.”
Dan
di sinilah cerita mereka yang sesungguhnya dimulai.
Lanjut
ke Bab 2: Di Balik Minyak dan Asap, Karakter Terlihat Jelas...