Dalam sebuah riwayat dikisahkan, bahwasanya setelah Allah menciptakan akal dan
dinobatkan sebagai ciptaan Allah yang mulia, maka Allah menciptakan nafsu.
Ketika nafsu diperintahkan menghadap dan Allah bertanya kepadanya: ”Siapakah
dirimu dan siapakah Aku?” Nafsu pun dengan santainya menjawab, ”Aku adalah aku
dan Engkau adalah Engkau.” Jawaban nafsu yang masih bersifat menentang itu,
pada akhirnya membuat dia dicelupkan ke dalam neraka Jahim oleh Allah ’Azza
wa Jalla.
Setelah mendekam dalam neraka Jahim selama seratus tahun, nafsu kemudian
dikeluarkan dan kepadanya diajukan kembali pertanyaan yang sama. ”Siapakah
engkau dan siapa Aku?” Agaknya, pencucian selama seratus tahun di dalam neraka
Jahim belum membuat nafsu jadi sadar tentang siapa dirinya dan siapa yang
menciptakannya.
Jawaban yang diberikan
oleh nafsu, masih tetap sama dengan sebelumnya. ”Aku adalah aku dan Engkau
adalah Engkau.” Kebodohan nafsu inilah yang membuatnya harus dicelup lagi ke
dalam neraka Juu’.
Usai menjalani pencucian di dalam neraka Juu’ selama seratus tahun, nafsu
kembali ditanya tentang hal yang sama. Kali ini, nafsu sudah mulai menyadari
tentang siapa dirinya. ”Aku adalah hambaMu dan Engkau adalah Tuhanku,” demikian
jawabnya. Konon, karena kebodohan dan pembangkangan nafsu inilah, maka Allah
kemudian mewajibkan kepadanya untuk berpuasa. Paling tidak, dalam setahun,
Allah memerintahkan hambaNya untuk berpuasa selama satu bulan penuh.
Sebagaimana diketahui, bahwasanya bulan Ramadhan bermakna bulan pembakaran.
Dalam bulan ini, nafsu dibakar – sebagaimana pembakaran dalam neraka Jahim dan
neraka Juu’ tadi – sebagai sebuah proses pencucian agar nafsu semakin menyadari
tentang siapa dirinya dan siapa Penciptanya.
Apabila sebelumnya Allah
yang melakukan pencucian secara langsung, maka setelah manusia diturunkan ke
muka bumi, manusia pun diberi kewajiban untuk berjuang mencuci nafsunya
sendiri. Proses pencucian dengan berpuasa itulah yang merupakan suatu bentuk
perjuangan manusia, sebagai tanda bahwa manusialah yang butuh dirinya untuk
dibersihkan. Bukan Allah yang membutuhkan mereka jadi bersih. Dengan kata lain,
manusialah yang membutuhkan Allah, bukan Allah yang membutuhkan manusia.
Alhasil, manusia harus pandai-pandai dalam memanage hawa nafsunya agar
tidak menjadi pembangkang dan lupa akan siapa dirinya dan siapa Tuhannya.
Apabila manusia sampai lalai untuk melemahkan hawa nafsunya sendiri, maka nafsu
bisa berbalik jadi pembangkang dan menganggap dirinyalah sebagai Sang Penguasa.
Dalam hal ini, hawa
nafsu itu sangat pandai dalam mengeruk keuntungan demi kepentingan dirinya
sendiri. Tidak peduli bagaimanapun caranya. Baik itu dengan cara samar-samar
maupun dengan terang-terangan, halus maupun kasar. Sebaliknya, nafsu itu tidak
pandai dalam memahami segala sesuatu yang tidak berkaitan dengan
kepentingannya.
Akan tetapi, nafsu selalu mencari cara agar segala sesuatu itu bisa bersentuhan
dengan kepentingannya. Oleh karena itulah, manusia banyak yang sering tertipu
oleh hawa nafsunya sendiri. Boleh jadi, seseorang mengira dirinya sudah
berjalan sesuai aturan Tuhannya. Tetapi, ternyata, ia tengah berjalan di atas
jalur alternatif yang dibuat oleh hawa nafsunya.
Padahal, jika jalur itu
dibuat oleh hawa nafsu, maka sudah barang tentu, tujuan akhirnya bukanlah husnul khatimah. Sebab, yang ingin
dituju oleh hawa nafsu adalah segala sesuatu yang memuaskan dirinya. Bukan
menuju Tuhan Yang Sebenarnya.
Dalam tataran inilah, dapat kita pahami, jika Imam Al-Ghazali mengatakan bahwa
hawa nafsu itu adalah asistennya setan. Mengapa demikian? Sebab, hawa nafsu
senang menyenangkan dirinya sendiri. Sedang setan itu merasa senang jika
manusia bisa lupa pada kesenangan Tuhannya.
Orang yang senang menyenangkan
dirinya sendiri, maka ia lebih cenderung untuk lupa pada kesenangan Tuhannya.
Hal ini dikarenakan, upaya yang dilakukan untuk menyenangkan diri sendiri itu
menjadi hijab yang menutupi mata hati
kita, sehingga kita tidak bisa melihat apa saja yang menjadi kesenangan Allah
itu.
Kehilangan Arah
Apabila seseorang lebih senang menyenangkan hawa nafsunya, maka ia sebetulnya
tengah memposisikan hawa nafsunya sendiri sebagai raja yang menguasai dirinya.
Tatkala hawa nafsu sudah menjadi raja, maka manusia akan susah melemahkannya
dan cenderung aktif memperturutkan apa yang menjadi keinginan hawa nafsu.
Akibatnya yang lebih
jauh lagi adalah, manusia jadi kehilangan arah tujuan dalam hidupnya. Apakah
arah yang sebetulnya dituju oleh manusia dalam hidup ini? Yakni, Tuhan Yang
Sebenarnya. Sedangkan segala sesuatu yang ada di sekitarnya itu adalah alat
untuk menuju Tuhan Yang Sebenarnya itu (Allah).
Misalnya, orang hidup itu membutuhkan makanan untuk menegakkan dan menguatkan
tulang-tulangnya. Jika tulang-tulangnya kuat dan badannya bisa tegak atau tidak
lemah, maka ia dapat menjalankan kehidupannya dengan tenang. Jika hidupnya
tenang, maka ia akan selalu memiliki pikiran yang positif dan dapat beribadah
dengan tenang pula.
Maka dalam hal ini,
makanan adalah alat untuk menuju Tuhan Yang Sebenarnya. Alhasil, manakala kita
memperoleh suatu makanan atau memasukkan makanan ke dalam tubuh kita, maka kita
mensyukuri akan kemurahan Allah yang telah memberikan kita makanan. Sehingga
dengan adanya makanan itu, tubuh kita tidak menjadi lemah dan kita dapat
beribadah dengan tenang.
Jangan sampai terbalik, menjadikan makanan sebagai tujuan dalam hidup ini.
Orang yang menjadikan makanan sebagai tujuan hidupnya akan berpandangan: ”Orang
hidup itu untuk apa toh? Bukankah orang hidup itu untuk makan?
Bukankah agar bisa hidup, kita harus makan? Oleh karena itu, makanan apa saja
yang saya inginkan, lebih baik saya turuti. Bukankah kita mencari nafkah, juga
untuk bisa membeli makanan? Lalu, mengapa kita harus menahan diri untuk makan?
Selama masih bisa masuk ke perut, ya makan saja.”
Kelihatannya, pandangan itu benar adanya. Akan tetapi, jika kita simak lebih
seksama, maka dalam pandangan itu, kita telah menjadikan makanan sebagai tujuan
dalam hidup. Akibatnya, kita hanya memikirkan makanan apa yang kita sukai dan yang
tidak kita sukai. Makanan apa yang ingin kita makan saat ini, dan makanan apa
yang akan kita makan nanti.
Pikiran kita disibukkan
dengan makanan. Jika tidak bisa makan atau tidak punya makanan, maka kita
menjadi susah setengah mati. Seakan-akan hidup kita sudah berhenti sampai di
situ. Kita jadi lupa, bahwa makanan itu hanyalah salah satu alat untuk menuju
Tuhan. Sedang alat itu, bisa ditarik oleh Allah kapan saja Dia mau. Apabila
kita dibuat tidak bisa makan atau tidak punya makanan, maka masih banyak alat
lainnya yang dapat digunakan untuk menuju Allah.
Berani Menerabas
Syari’at
Begitu pula
misalnya jika kita menjadikan harta sebagai tujuan dalam hidup. Maka, kita akan
menghabiskan banyak waktu kita untuk mencari dan mengumpulkan harta. Berbagai
cara ditempuh agar harta bisa terkumpul banyak. Bahkan, boleh jadi, kita pun
nantinya akan berani menerabas syari’at Allah,
demi untuk bisa mendapatkan banyak harta. Padahal harta itu adalah jembatan
atau alat untuk menuju Rabb,
Tuhan Yang Sebenarnya.
Apabila harta itu kita
jadikan alat untuk menuju Allah, maka keimanan kita insya Allah akan semakin
bertambah ketika harta itu bertambah. Dan kita tidak akan merasa kekurangan
ketika harta itu kita dermakan atau diambil oleh Allah dengan cara-cara yang
Dia kehendaki. Sebab, harta hanyalah salah satu alat untuk menuju Tuhan, dan
masih banyak alat lainnya yang dapat kita gunakan untuk menuju Allah.
Barangkali Anda masih ingat dengan kisah Nabi
Ibrahim asw. Beliau adalah kekasih Allah yang dianugerahi kekayaan yang
berlimpah. Bahkan, konon, saking kayanya, sampai-sampai seluruh bukit dan lerengnya
memerah oleh hewan ternak beliau. Sambil menunggu hewan ternaknya yang sedang
merumput, Nabi Ibrahim asw tetap sibuk berzikir kepada Tuhannya. Hatinya tidak
terpaut pada hartanya, tetapi hanya kepada Zat yang mengamanahkan harta itu
kepadanya, yaitu Allah.
Allah
sangat bangga kepada Nabi Ibrahim asw, sehingga Dia memuji Nabi Ibrahim asw di
hadapan para malaikatNya. Para malaikatNya berkata: “Sudah barang tentu dia
banyak memuji dan beribadah kepadaMu, sebab Dia telah Engkau beri harta yang banyak.”
Allah pun mengutus
malaikatNya untuk menguji kepada siapa hati kekasihNya itu terpaut. Apakah
kepada hartanya atau kepada Zat Yang Maha Kaya.
Malaikat pun turun dan menyamar sebagai seorang musafir. Dia meminta keikhlasan
Nabi Ibrahim asw untuk membagi ternaknya. Nabi Ibrahim asw dengan santai
berkata, ”Ambillah yang mana engkau suka. Tapi aku akan memberimu sepertiga
dari seluruh ternak itu, jika engkau berzikir kepada Allah.” Malaikat itu pun
terkagum. Maka, ia pun kemudian membaca ”Subhaanallah” (Maha Suci
Allah).
Ceritanya tak hanya sampai di situ. Nabi Ibrahim asw kembali meminta malaikat
penyamar itu untuk menambah zikirnya lagi dan akan diganti dengan dua pertiga
dari hartanya. Malaikat itu menjadi semakin terkagum-kagum dan membaca: ”Subhaanallah,
walhamdulillaah” (Maha Suci Allah dan segala puji hanya milik Allah). Nabi
Ibrahim asw tersenyum senang.
Kali berikutnya, tidak
tanggung-tanggung, ia menjanjikan kepada malaikat penyamar itu akan memberikan
seluruh ternaknya, jika ia mau menambah zikirnya. Maka malaikat itu pun membaca: “Subhaanallah
walhamdulillaah, wallaahu akbar” (Maha Suci Allah, dan segala puji hanya
milik Allah dan Allah Maha Besar). Malaikat itu benar-benar merasa kagum pada
pribadi Nabi Ibrahim asw. Meskipun kaya raya, tetapi hatinya tidak terpaku pada
kekayaannya. Hatinya hanya terpaku pada Zat Yang Maha Kaya, yakni Allah Rabbul
’Alamin.
Demikian itulah kisah Nabi Ibrahim asw yang mencontohkan tentang bagaimana cara
kita menyikapi sebuah alat atau jembatan. Yakni, tidak merasa takut akan
kehilangan sesuatu yang sebetulnya hanya alat untuk menuju Allah. Sebab, masih banyak
alat lainnya yang dapat dijadikan sebagai jembatan untuk menuju Allah Rabbul ’Izzati.
Alat-alat itu pulalah
yang sering digunakan oleh hawa nafsu untuk kepentingan dirinya sendiri.
Padahal, sejatinya, keberadaan alat-alat itu adalah sebagai jembatan yang
diberikan oleh Allah untuk mendekat kepadaNya.
Alat Untuk Mendekat
Bahkan, musibah atau penyakit pun, aslinya, bisa dijadikan sebagai alat untuk
mendekat kepadaNya. Namun, oleh hawa nafsu, musibah atau penyakit tersebut
malah dijadikan sebagai alat untuk ’menghujat’ Allah dan mempertanyakan
keadilan Allah Yang Maha Adil.
Nafsu bisa membelokkan
hati kita dari sikap mensyukuri musibah atau penyakit sebagai tanda kasih
sayang Allah. Nafsu kemudian mengarahkan hati kita kepada rasa penyesalan yang
berkepanjangan, meratapi takdir Tuhan dan mencari kambing hitam untuk tempat
menambatkan semua kesalahan.
Begitulah yang terjadi jika kita membiarkan hawa nafsu menjadi raja yang
menguasai diri kita. Segala sesuatu akan kita lihat sebagai penyebab yang
membuat kita jadi rugi. Padahal, sejatinya, setiap kejadian itu – apapun
bentuknya – merupakan jalan yang harus kita tempuh sebagai takdir Tuhan. Sedang
kejadian itu sendiri, bisa jadi merupakan jalan yang harus dilalui dalam rangka
untuk menuju Tuhan Yang Sebenarnya.
Misalnya, boleh jadi,
saat ini Anda melihat si fulan bergelimang dalam kemaksiatan. Tetapi, siapa
yang bisa menduga, jika kemaksiatan yang dilakukannya itu adalah jalan yang
harus ditempuh terlebih dahulu sebelum akhirnya ia menuju taubat nasuha?
Bukankah tak ada taubat, jika tidak ada kesalahan? Bukankah tak ada ampunan,
jika tidak ada yang diampuni?
Dengan demikian, jangan sampai kita terperangkap dalam jerat yang dibuat oleh
hawa nafsu untuk mengesahkan kekuasaan dirinya. Yakni, melihat sesuatu dengan
kacamata prasangka buruk. Padahal, Rasulullah saw telah mengingatkan, bahwa
prasangka buruk itu adalah ucapan yang bohong belaka.
Melihat kejadian sebagai
sesuatu yang sepenuhnya merugikan diri kita, hal itu merupakan salah satu
bentuk dari prasangka buruk kepada Allah yang telah menakdirkan terjadinya
kejadian itu. Sebaliknya, melihat kejadian sebagai alat untuk membimbing kita
dalam menuju Allah, merupakan prasangka baik yang perlu kita tanamkan pada diri
kita.
Apa yang ingin saya sampaikan lewat tulisan ini adalah, mari kita belajar
bersikap hati-hati dalam menjalani kehidupan ini. Jangan biarkan hawa nafsu
kita menjadi raja yang akan menguasai diri kita. Sebab, segala sesuatunya akan
senantiasa berakhir pada penyesalan dan kesusahan lahir maupun batin. Sedangkan
untuk menghindari agar hawa nafsu kita tidak menjadi raja, maka jadikanlah
segala sesuatunya itu sebagai alat untuk mendekatkan diri kita kepadaNya. Di
samping itu, belajarlah mencoba mengasah rasa yang kita miliki, agar kita bisa
membedakan apakah bisikan dalam hati dan pikiran kita itu semata-mata didasari
oleh keinginan hawa nafsu, ataukah sebagai suatu bentuk ikhtiar untuk lebih
mendekat kepadaNya?***