Pada suatu hari, hiduplah seorang anak bernama Sanafika Dirsya.
Bersekolah di SDSN Ceria dan duduk di kelas 5. Ia dikenal sebagai pemalas dan
sering mendapat nilai jelek baik tugas maupun latihan. Tapi, Sanaf tetaplah
Sanaf, tak ingin berubah menjadi lebih baik.
Di rumah, Sanaf menatap tajam kertas ulangan yang dipegangnya.
“Haruskah nilai jelek yang tertera di kertas ini? Menyebalkan!” kesal Sanaf dan
meremas kertas itu lalu membuangnya dengan asal. “Sanaf, kamu kenapa?” tiba-tiba
mama sudah ada di dekatnya. “Aku gak apa-apa!” bohong Sanaf. “Kalau baik-baik
saja, mengapa kamu meremas dan membuang kertas ini?” tanya mama sambil memegang
remasan kertas yang dibuang Sanaf. Sanaf terkejut karena mama memegang kertas
ulangannya. “Maaf ma, aku akan membuangnya!” ujar Sanaf dan ingin meraih kertas
tersebut dari mama namun beliau menghindar lalu melihat isi kertas.
“Oh, ini nilai ulanganmu!” seru mama sambil menggelengkan kepala.
Sanaf menundukkan kepala. Ia merasa bersalah. “Kenapa kamu membuangnya?”, “Aku
gak mau mama marah!” tegas Sanaf. Mama mengangguk lalu memberikan sebuah pensil
untuk Sanaf. “Ini pensil kebahagiaan. Dulu, mama pakai ini dan nilai selama
bersekolah bagus. Tapi, mama harus belajar agar pensil ini mau membantu mama. Kalau
mama gak belajar, pensil ini tidak mau membantu sama sekali. Sekarang pensil
ini untukmu!” Sanaf heran menatap pensil itu dan bertanya-tanya apakah itu
pensil ajaib atau hanya rencana mama agar Sanaf lebih giat belajar. “Mama gak
bohong, terimalah!” akhirnya Sanaf menerimanya setelah mendengar pernyataan
mama.
Sejak saat itu, Sanaf belajar bersama pensil itu untuk membuktikan
apakah pensil itu ajaib. Dugaannya benar, selama mengikuti pelajaran, nilai
Sanaf meningkat dan semakin memuaskan. Ia mendapat nilai bagus bahkan pernah
tertinggi di kelas. Suatu hari, seseorang mendatangi Sanaf dan bertanya
mengenai dirinya yang semakin hari mendapat nilai bagus. “Zimal, aku belajar
dengan giat, bukan karena suatu hal apapun!” bohong Sanaf. “Aku gak percaya
dan.. apa karena pensil itu kamu menjadi pintar?” Zimal, teman sekelas Sanaf
mulai mecurigainya. Sanaf yang tenang menghadapi Zimal tiba-tiba tegang.
“Serahkan pensil itu!” pinta Zimal sambil merebut pensil pemberian mama Sanaf.
“Gak, ini milikku. Berani sekali kau merebutnya!” terjadilah perebutan pensil
antara Sanaf melawan Zimal membuat teman kelas sekitarnya melihat ke arah dua
rival tersebut. “Cukup. Aku akan membuktikan bahwa pensil ini ajaib. Kamu
selalu memakai pensil ini dan tak pernah mendapat nilai jelek sejak memakai
pensil ini. Lihat saja, kamu akan mendapat nilai jelek kembali setelah pensil
ini ada di tanganku!” Zimal pergi meninggalkan tatapan liciknya. “Zimal!” Sanaf
berteriak dan bersedih sepanjang pelajaran di sekolah.
Bel pulang berbunyi, Sanaf mempercepat langkahnya menuju rumah. Ia
langsung memberitahu mama bahwa pensil kebahagiaannya diambil oleh Zimal, teman
kelasnya. Mendengar itu, mama tersenyum membuat Sanaf heran. “Mengapa harus
bergantung pada pensil itu? Tanpa pensil tersebut, kamu bisa dapat nilai
bagus!” ucap mama. “Bagaimana caranya?” , “Kamu harus belajar dengan giat.
Berubahlah menjadi lebih baik. Kalau kamu berubah menjadi lebih baik, maka masa
depanmu juga akan baik!” jawab mama. Sanaf terdiam mendengar jawaban mama.
“Jadi, itu hanya pensil biasa? Keraguanku selama ini benar. Aku akan
berusaha menjadi lebih baik. Aku gak butuh barang apapun untuk menjadi hebat
karena hebat itu berasal dari diri sendiri. Maaf kalau Sanaf selama ini malas.
Terimakasih mama!” Sanaf memeluk mama tercinta disambut mama yang memeluk
dengan erat. Batinnya berkata,”Anakku berubah!”.
Hari ke hari, Sanaf semakin giat belajar menggapai mimpinya. Ia
tidak dikenal pemalas, namun dikenal murid terpintar di kelas. “Sanaf, kau..”,
tiba-tiba Zimal menghampiri Sanaf. Sanaf hanya menaikkan sebelah alisnya.
“Kau.. mengapa bisa? Mengapa nilaimu meningkat tanpa pensil di tangan ini? Aku
yang mencoba pensil ini bahkan tak mendapat hasil apapun. Apakah kamu mempunyai
kekuatan ajaib? Apa kau curang? Atau..”, “Cukup. Jangan menuduhku seperti itu!”
Sanaf mengambil pensil di tangan Zimal lalu membuangnya ke tempat sampah. “Kamu
gak harus tergantung dengan pensil itu. Itu hanya pensil biasa!” mendengar itu,
Zimal terkejut. “Pensil itu pemberian mamaku. Beliau berbohong bahwa pensil itu
ajaib yang akan membantu mendapatkan nilai bagus baik tugas maupun latihan
asalkan harus belajar yang giat. Jika tidak, pensil itu tak akan membantu. Tapi
semua itu hanya kebohongan. Mama ingin agar aku belajar giat dengan cara
seperti itu!” Sanaf menjelaskan tentang pensil tersebut pada Zimal. Suasana
menjadi hening.
“Mengapa kita mudah percaya dengan hal seperti itu? Semua orang
pasti tahu bahwa untuk meraih sukses harus berdoa dan berusaha. Bukan
mempercayai barang seperti itu. Maafkan aku Sanaf, karena pensil tersebut, kita
bagaikan musuh!” Zimal mengambil kesimpulan lalu meminta maaf pada Sanaf. “Aku
juga minta maaf!” akhirnya, mereka saling bermaafan. Dalam hati Sanaf, ia
bersyukur karena ia tidak menjadi pemalas karena mama dan sebuah pensil.