Hari
itu, matahari terbenam dengan indah, menciptakan semburat warna oranye yang
menyelimuti seluruh Ciputat. Warung Pak Darto, yang selama ini menjadi saksi
bisu perjalanan hidup Reyhan, kini terasa berbeda. Semua yang sebelumnya tampak
seperti ujian—seperti cobaan berat yang harus dihadapi—sekarang berubah menjadi
kenangan manis yang membentuk dirinya.
Reyhan
melangkah keluar dari warung kecil itu, matanya memandang jauh ke depan.
Langkahnya mantap, tanpa keraguan. Ia tahu, dunia menantinya di luar sana, dan
kali ini, ia siap untuk menghadapinya tanpa ada yang menahan.
Pak
Darto, atau lebih tepatnya Armand Prasetya, berdiri di pintu warung, mengamati
anaknya yang kini terlihat berbeda. Tidak ada lagi keraguan dalam diri Reyhan.
Tidak ada lagi kecemasan tentang apakah ia melakukan keputusan yang benar.
Reyhan telah memilih jalan yang sulit, namun itu adalah jalan yang benar
menurutnya.
“Kamu
sudah siap?” tanya Armand dengan suara berat.
Reyhan
menatapnya dengan senyum lebar. “Ya, Pak. Saya siap.”
Armand
mengangguk, matanya berbinar. “Aku bangga padamu, Rey. Lebih dari apa pun, kamu
telah memilih jalanmu sendiri. Itu sudah lebih dari cukup.”
Reyhan
menarik napas panjang. “Mungkin saya bukan anak yang sempurna. Saya tahu saya
nggak selalu menjadi yang terbaik untuk Papa. Tapi saya janji... saya akan
berusaha untuk jadi lebih baik.”
Armand
melangkah mendekat dan meletakkan tangan di bahu Reyhan. “Kamu sudah lebih dari
cukup, Rey. Kalau kamu memilih untuk hidup dengan integritas, keberanian, dan
kerja keras—itu sudah lebih dari cukup untukku. Tidak ada warisan harta yang
lebih berharga daripada itu.”
Reyhan
menatap wajah ayahnya. Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia merasa
benar-benar terhubung dengan sosok ini. Sosok yang selama ini ia anggap sebagai
seseorang yang jauh, penuh rahasia, dan bahkan terkadang menakutkan. Namun
kini, ia menyadari bahwa ayahnya hanyalah seorang manusia yang ingin melihat
anaknya berdiri dengan kaki sendiri.
“Apa
sekarang semuanya selesai, Pak?” tanya Reyhan, suara penuh tanya.
“Tidak,
Rey,” jawab Armand dengan senyuman. “Ini baru awal. Masa depanmu masih panjang.
Banyak hal yang akan datang, banyak tantangan, dan banyak pilihan. Tapi ingat,
apapun yang terjadi, kamu sudah memulai dengan langkah yang tepat.”
Reyhan
mengangguk, kemudian berpaling untuk terakhir kali ke warung itu. Tempat yang
selama ini menjadi saksi perubahannya. Tempat yang mengajarinya banyak hal
tentang hidup, tentang nilai-nilai yang lebih penting daripada uang.
Di
luar sana, dunia menunggu. Mungkin itu tidak akan mudah, tapi Reyhan tahu satu
hal—ia sudah menemukan tujuan hidup yang sejati. Bukan lagi tentang menjadi
pewaris kekayaan keluarga. Tapi tentang menjadi dirinya sendiri.
Dengan
langkah mantap, Reyhan melangkah pergi, menuju masa depan yang baru. Tak ada
lagi bayang-bayang masa lalu yang mengikutinya. Ia tidak lagi merasa takut akan
kegagalan, karena ia sudah belajar dari setiap langkah yang ia ambil.
Armand
memandang anaknya dengan bangga, lalu menatap langit yang kini semakin gelap.
Suasana hati Armand begitu tenang, penuh kedamaian. Ia tahu, meskipun ia tidak
lagi bisa mengatur langkah Reyhan, ia telah memberikan sesuatu yang jauh lebih
berharga: kebebasan untuk memilih dan membangun hidupnya sendiri.
Dan
dengan itu, perjalanan panjang mereka sebagai ayah dan anak telah sampai pada
titik ini—titik di mana mereka akhirnya memahami arti sejati dari keluarga dan
warisan.
Akhir